Oleh : Dion Rasu
Sulsel, LidiNews.com - Sudah hampir beberapa bulan kita menjalani pantangan. Pantangan dalam hal ini bukan anjuran ritual keagamaan, tetapi protokol kesehatan yang didasari komando pemerintah.Tentunya karena wabah pandemi Covid-19 yang menjadi momok menakutkan daripada roh halus, setan, jin, dan sebangsanya. Rupanya ini merembes diberbagai lini seperti serangan jutzu para ninja dalam film "ninja asasins".
Entah merembes di wilayah ekonomi, pendidikan, budaya, agama, serta aspek kehidupan lainnya. Sebenarnya saya sendiri tak mau peduli dengan segala persoalan tetek bengek yang terjadi mengingat ini negara demokrasi; yah wajar saya menulis walau mengkritik negara tak dapat apa-apa dan tetap kita cari makan sendiri tanpa minta subsidi.
Lalu kenapa saya menulis? Mungkin itu pertanyaan untuk diri saya mahkluk yang paling hina dimata TUHAN, netizen, haters dan elit politik.
Beberapa bulan ini tagar (#) "stay home" memang sudah menjadi senjata pamungkas penanganan pandemi, kemudian menyusul PSBB dan karantina wilayah. Namun ekonomi rakyat menjerit pada kebutuhan dan menjerit pada posisi kelaparan. Siapa sangka korban yang berjatuhan terus bertambah hingga mencapai angka ribuan.
Prediksi akdemis dan beberapa pandangan bermunculan bahkan berakhir kontradiksi. Sialnya, kita kehilangan sisi realitas sebagi akibat dari prosedur "stay home " yang mempercayai begitu saja informasi yang berseliweran didunia maya.Tepatnya, informasi terkini tentang kebijakan "NEW NORMAL".
Terlepas dari apakah kebijakan ini normal atau abnormal? Saya rasa inilah yang menyebabkan saya mempersoalkannya. Bagaimana tidak! IDAI (IKATAN DOKTER INDONESIA ANAK INDONESIA ) merilis data 129 anak meninggal dengan status PDP dan 14 orang diantaranya adalah tekonfirmasi covid 19.
Saat ini jumlah anak PDP dengan berbagai latar belakang penyakit jumlahnya hampir 3.400 anak dan dari jumlah itu 384 anak positif terkena Covid-19. Ditambah Orang dewasa kurang lebih (+) 4000 kasus dan banyak yang meninggal dunia. Artinya penambahan kasus Covid-19 berlangung signifikan, meski adanya berita pasien yang sembuh.
Lalu, kenapa dengan New Normal? Apakah kita siap untuk keluar dari persembunyian terbaik kita yakni: rumah sendiri, kemudian bergegas melakukan aktivitas seperti biasa?
Kita akan melihat sekolah dibuka kembali, jalanan akan ramai, pasar dikunjungi pembeli, toko-toko perbelanjaan dibuka lagi serta akitivitas ramai dan lancar. Dengan senang hati kita akan menerima NEW NORMAL yang dibuka di bulan Juni mendatang akan disambut meriah dicampur kelegaan sebagai lonjakan akibat kebuntuan rasa bosan yang pelik dan memiskinkan karakter dan ekonomi.
Tanpa disadari virus ini akan menyebar kembali, sebab proses menularnya adalah kontak fisik dan itulah konsekuensi "New Normal". Memang benar kita mempercayai pemerintah sebagai wakil TUHAN dibumi, tapi itu adalah kesepaktan kolektif mereka bukan kejadian kognitif atau realitas karena kita sudah bercengkerama dengan situasi daring (online) tidak heran kalau kabar new normal santer membuat kita terbebas.
Keputusan terkait new normal memang dilematis suka tidak suka ini yang terbaik menurutnya (pemerintah) yang kemudian bergeser pada susunan otoritas kebijakan otonomi daerah dalam hal ini provinsi. Saya ambil contoh provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) yang cepat merespon kebijakan ini.
Dilansir dari Kupang, postflores.com - Hasil rapat gubernur dengan bupati dan beberapa walikota se-NTT memuat beberapa point penting diantaranya:
1.Proses belajar mengajar akan dibuka Juli 2020
2.Aktivitas pemerintahan Prov.NTT akan dimulai 15 juni 2020 serta bagi daerah zona hijau dipersilahkan beraktivitas tanpa harus menunggu 15 juni 2020
3.Semua daerah harus siap menerima PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang berjumlah 5000-an pada minggu ini hingga pertengan Juni serta menyiapkan tempat karantina khusus selama 14 hari.
Lebih lanjut Gubernur menegaskan "Pembukaan kembali portal yang dipasang". Sementara portal yang dipasang di beberapa wilayah perbatasan kabupaten, kecamatan, hingga desa sudah banyak dan anggaran sudah dikeluarkan.
Lalu apakah berarti kita sudah dikerjain? Atau memang tidak ada kordinasi lebih lanjut tentang semua ini. Saya hanya bisa garuk kepala.