terkini

Iklan Podcast

[Review Film] Serial Dickinson, Tontonan “Nyeleneh” Nan Menghibur

Lidinews
Rabu, 3/08/2023 09:47:00 AM WIB Last Updated 2023-03-08T02:47:00Z

Lidinews.id - Sebuah serial televisi biopik yang dirilis Apple TV+ pada tahun 2019. Serial besutan Alena Smith itu bercerita tentang proses kreatif salah seorang sastrawan besar, bernama Emily Dickinson. Tiga musim Dickinson yang dibintangi Hailee Steinfeld (The Edge of Seventeen, Bumblebee, Hawkeye), sudah mencuri perhatian dari berbagai aspek kisahnya.

Emily Dickinson sendiri adalah penyair wanita Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1830 dan tutup usia pada tahun 1886. Semasa masih hidup, hanya sedikit puisinya yang dipublikasikan. Itu pun semuanya anonim.

Pada masa tersebut sulit bagi perempuan untuk mendapat panggung di tengah dominasi kultur patriarki. Baru setelah maut menjemput, ditemukan sekitar 1.800 puisi dalam sebuah peti di kamarnya. Serial Dickinson berhasil mengenalkan sebagian karya Emily Dickinson dan alasan kenapa mereka istimewa.

Berlatar sejarah kehidupan abad 19, Dickinson merupakan sebuah tontonan anakronistis. Alih-alih menampilkan film biografi yang serius, Alena Smith justru mengusung Dickinson dengan gaya bahasa dan musik kekinian. Fase hidup yang ditampilkan pun adalah saat Emily remaja beranjak dewasa.

Alena mengeksplorasi keanehan yang menyelimuti keluarga Dickinson, serta masyarakat kota Amherst, lalu mengarahkannya menjadi sebuah tayangan komedi cerdas. Aksi-aksi komikal dan dialog-dialog bernada satir dengan apik dipertontonkan para pemeran dalam serial Dickinson. Saya suka terobosan ini.

Berdasarkan cerita sejarah, keluarga Dickinson cukup terpandang di masyarakat kota Amherst. Mereka suka menyelenggarakan berbagai perjamuan dan pesta. Adegan dalam serial tv juga beberapa kali menampilkan momen ketika anak-anak Dickinson mengadakan pesta. Buat orang yang serius, adegan tersebut mungkin akan terasa aneh. Orang-orang bergaya victorian, menari, twerking, dengan musik pop dan hip-hop. Saya pribadi merasa itu tayangan yang menyegarkan; sebuah anakronistis yang menghibur.

Barangkali juga, Alena ingin mendorong generasi masa kini untuk mengenal kembali sosok Emily Dickinson. Makanya karakter Emily (Hailee Steinfeld) dalam serial ini ditampilkan nyeleneh, pemberontak, queer, dan feminis.

Komoditi yang cocok untuk pasar abad 21, di mana isu-isunya pun masih relevan. Sifat-sifat tersebut, mungkin kurang lebih sama dengan karakter asli seorang Emily Dickinson. Minus aksi komikalnya saja, barangkali.

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa sosok Emily Dickinson. Semua yang kita ketahui adalah interpretasi yang didapat dari beberapa artefak korespondensi antara Emily dan teman-temannya, puisi-puisinya, juga cerita dari mulut ke mulut, generasi ke generasi.


Trailer Season 1
Tumbuh besar di lingkungan budaya patriarki yang sangat kuat pada abad 19, Emily yang pemberontak diceritakan tetap menjaga hubungan harmonis dengan keluarganya; Edward Dickinson (Toby Huss)—ayah, Emily Norcross Dickinson (Jane Krakowski)—ibu, kedua saudaranya; Austin (Adrian Enscoe)—kakak dan Lavinia (Anna Baryshnikov)—adik.

Contohnya adalah di season 3 terjadi perpecahan dalam keluarganya. Hanya Emily yang berusaha agar keluarga Dickinson tetap utuh, bersatu padu. Menurut catatan sejarah yang ada, Emily disebutkan sangat dekat dengan kakak dan adiknya, terutama dengan ayahnya meski ada jurang perbedaan pendapat antara keduanya.

Hubungan Emily dan Sue (Ella Hunt) pun boleh dikatakan sebagai interpretasi yang masih sering diperdebatkan di dunia nyata. Kebetulan yang banyak mengemuka dan diyakini adalah dugaan bahwa Emily Dickinson punya hubungan romantis dengan sahabatnya, Susan Huntington Gilbert Dickinson a.k.a Sue, yang kemudian menjadi kakak iparnya. Hal tersebut didasarkan pada banyaknya puisi-puisi bernada romantis yang Emily tujukan untuk Sue.

Menurut saya, hubungan keduanya dalam serial Dickinson sudah ditampilkan secara proporsional. Mengingat bahwa fokus TV series ini lebih pada perjalanan Emily Dickinson menjadi seorang pujangga. Sekedar tambahan, chemistry antara Emily dan George (Samuel Farnsworth) di Season 1, tak kalah asyik untuk disimak.

Emily Dickinson juga terkenal sebagai sosok yang imajinatif. Dalam serial, karakter tersebut divisualisasikan melalui personifikasi Death (Wiz Khalifa) atau seperti di penutup cerita pada season 3. Setiap episodenya, selalu ada adegan yang menampilkan betapa liarnya imajinasi seorang Emily Dickinson, dibarengi dengan narasi puisi-puisinya yang begitu liris.

Setiap episode dalam serial Dickinson diberi judul sesuai dengan puisi-puisi milik Emily. Tidak jarang, Alena menginterpretasikan puisi tersebut dalam adegan bernuansa metaforis. Sangat menarik sebetulnya, bagaimana pemaknaan tersebut bisa pas. Salah satunya adalah episode yang berjudul “I Have Never Seen Volcanoes”.

Secara keseluruhan, serial ini bisa mengocok perut, alurnya mudah diikuti, dan tentu saja menghibur. Namun kalau boleh saya berpendapat, season ketiga tidak sekocak musim pertama maupun kedua. Musim pertama memang yang terbaik sih, terasa serupa angin segar. Tontonan baru dengan kemasan fresh. Meski bercerita tentang tokoh sejarah, Dickinson bukanlah sepenuhnya film biografi yang akurat. Banyak ide fiktif yang disematkan sebagai bumbu cerita.

Jujur, saya tidak menduga sama sekali kalau Dickinson ternyata akan disajikan dalam tiga musim. Saya pikir tadinya ini akan jadi tayangan limited series, yang selesai satu musim saja. Alasannya karena di akhir season 1 ceritanya sudah mewakili kisah hidup Emily Dickinson di kemudian hari.

Penyuka sastra yang kenal Emily Dickinson pasti tahu, bahwa pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, pujangga wanita yang satu ini lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya dengan menulis puisi, hingga akhir hayat.

Kisah tentang Emily Dickinson yang mengurung diri di kamar tidurnya, memang kemudian memberi kesan bahwa Emily adalah gadis introvert. Lewat puisi-puisi yang bernuansa kelam, bercerita tentang kehampaan, kematian, dan kasih tak sampai, menambah pula kesan sebagai pribadi pemurung.

Namun Alena Smith seperti ingin meluruskan miskonsepsi tersebut. Melalui karyanya ini, Alena cukup sukses menepis bahwa Emily Dickinson adalah seorang yang pemurung, penyendiri, apalagi anti-sosial.

Sayang, sebagian tulisan, baik itu puisi maupun surat-surat, milik Emily Dickinson dihancurkan (dibakar). Hal tersebut dilakukan sesuai dengan wasiat sang pujangga sendiri pada adik dan sahabatnya. Emily bilang, karena tulisan-tulisan tersebut bersifat confidential atau rahasia. Oleh sebab itu, masih banyak yang tidak terungkap tentang dirinya. Sampai saat ini, Emily Dickinson tidak hanya dikenal sebagai salah satu sastrawan (wanita) paling berpengaruh, tapi juga sebagai sosok legenda sekaligus mitos.


I’m Nobody! Who are you?

Are you – Nobody – too?

Then there’s a pair of us!

Don’t tell! they’d advertise – you know!

I’m Nobody! Who are you? – Emily Dickinson


P.S: Selain serial "Dickinson", kisah hidup Emily Dickinson juga pernah dibuat dalam film biopik tahun 2016, arahan sutradara Terence Davies, berjudul "A Quiet Passion". Sebuah tontonan yang jauh lebih serius.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Review Film] Serial Dickinson, Tontonan “Nyeleneh” Nan Menghibur

Iklan