terkini

Iklan Podcast

Review Buku - Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

Lidinews
Minggu, 9/17/2023 10:53:00 AM WIB Last Updated 2023-09-17T15:18:02Z

Gambar : Review Buku - Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan. Lidinews.id


Ambisiku telah membuatku melupakan segala sesuatu, hingga aku lupa bahwa aku wanita


Lidinews.id - Ihsan Abdul Quddus adalah salah satu sastrawan besar mesir yang terkenal. Selain menjadi seorang sastrawan, Ihsan Abdul Quddus adalah seorang jurnalis politik yang berani mengungkapkan rahasia politik dan konflik sosial yang tersembunyi dalam kerajaan.


Pada tahun 1942 ia lulus dari bidang hukum di Universitas Kairo, dan bekerja di firma hukum milik pengacara terkenal  sambil bekerja sebagai jurnalis di majalah milik ibunya.


Inilah novel luar biasa tentang pergulatan karier, ambisi dan cinta. Kaya muatan filsafat tetapi dikemas dalam Bahasa sederhana dan mengesankan.


Tuntunan kesetaraan jender yang dirajut dalam kisah pertentangan batin seseorang perempuan menjadikan novel ini bukan sekedar bacaan yang menginspirasi tetapi sekaligus contoh bagi perjuangan perempuan melawan dominasi.


Sebagai perempuan tentunya tidak mudah untuk mengejar karier dan mimpi-mimpinya di saat laki-laki mendominasi semua aspek kehidupan. Selalu ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di antara kentalnya budaya patriarki pada saat itu.


Novel ini menyorot bagaimana patriarkisme berjalan beriringan mengekang kebebasan perempuan, subordinasi yang dipatenkan laki-laki terhadap pada perempuan, stereotipe yang selalu menekankan perempuan adalah individu kelas dua dengan memenuhi kebutuhan domestik adalah kewajiban perempuan/istri, serta tuntutan kesetaraan gender yang membuat laki-laki memilih mempertahankan ego maskulinitas daripada harus memiliki hak yang sama dengan manusia 'kelas dua'.


Suad tidak sudi menjadi pembantu. Bila pernikahan dan menjadi ibu dianggap sebagai sebuah pengabdian, tetapi ia tidak mau menggunakan konsep pengabdian yang sempit dan memenjarakan.


Bagi Suad pengabdian harus dalam konteks yang luas, konteks masyarakat secara umum. Ia harus menjadi pribadi yang memimpin agar pengabdiannya bukan berdasarkan ketaatan kepada perintah, melainkan atas sikap memerintah yang argumentatif.


Suad berbeda. Sejak kecil ia tidak tertarik untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia tak peduli dengan urusan dapur, mengawasi pembantu atau mengurusi dekorasi dan tata ruang di rumahnya.


Ia juga tidak begitu suka menghabiskan waktu bermain - main dengan anak-anak kecil dirumahnya. Bukan berarti ia membenci permainan tetapi ia lebih menyukai beberapa olahraga.


Itu semua bukan merupakan hal penting yang membetuk kepribadiannya.  Ada dua hal yang menjadi titik tolak kehidupannya sejak kecil sampai dewasa yaitu ilmu pengetahuan dan jaringan kemasyarakatan yang luas.


Pada tahun 1935, saat Suad berumur lima belas tahun ketika muncul gerakan nasionalisme mesir untuk memerdekakan diri dari penjajahan inggris. Ia mengumpulkan teman-teman sekolahnya untuk melakukan pemogokan dan unjuk rasa.


Hari itu, ia telah memiliki kemampuan untuk memobilisasi teman-temanya dalam gerakkan demonstrasi. Semuanya terjadi dengan alami. Bahkan ia tidak pernah memikirkan cara  pulang kerumah dari kerumunan para demonstran itu.


Mereka merasa lelah tetapi senang bahwa segala yang mereka lakukan demi bumi pertiwi terasa begitu mudah dan selalu menemukan jalan keluar.


Karena terlalu berambisi terhadap kariernya, Suad lupa akan jati dirinya bahwa ia adalah seorang perempuan, yang sejatinya mengutamakan kepentingan dalam rumah lebih baik dari pada terobsesi dengar karier politiknya. Ia berpendirian yang sangat teguh terhadap konsekuensinya sejak ia masih muda, saat menjadi mahasiswa S1.


Wanita yang sangat koleris, sehingga ia sudah merencanakan tujuan hidupnya dengan matang.


Namun, sayangnya ia selalu menyampingkan kebutuhan keperempuannya, sehingga itu terkesan tidak penting baginya. Termasuk jatuh cinta pada lelaki, dan menikahinya. Baginya, poltik adalah nomor satu.


Ia tidak menginginkan pernikahan jika hanya mencoreng kecitraanya sebagai pemimpin negara. Satu persatu konflik datang.


Suad mengalami dua kali kegagalan dalam hubungan pernikahannya. Kegagalannya bukan karena ia tidak mampu mengurus rumah tangga dengan baik, melainkan perbedaan pandangan yang membuatnya tidak bisa mempertahankan hubungannya dengan sang suami.


Bahkan laki-laki yang menurutnya bisa memahami bagaimana kesibukannya dan saling menyibukkan diri dengan profesi sehingga pernikahan hanyalah tempat mereka bertemu di waktu luang pun tidak bisa bertahan karena perbedaan pandangan yang menyelimuti keduanya dalam berbagai hal yang menyangkut perempuan dan bagaimana kedudukan saling memengaruhi citra gender.


Pernikahan pertamanya gagal karena sang suami, Abdul Hamid menginginkan perempuan yang selalu ada untuknya saat ia pualng ke rumah, yang mana Suad tidak bisa mewujudkan itu karena ia pun sibuk dengan pekerjaannya.


Ia merupakan sosok yang memiliki profesionalitas tinggi, mereka saling menghormati, tetapi profesionalitas tidak membawa mereka kepada cinta yang utuh.


Mereka selalu berbeda pandangan, Abdul Hamid yang cenderung menikmati hidup yang monoton, sedangkan Suad terus mengasah kemampuannya dan terus mengangkat namanya setinggi mungkin.


Pernikahan kedua pun gagal, cinta yang tumbuh perlahan antara dokter Kamal dan Suad tidak terburu-buru, tetapi sifat patriarkisnya yang selalu menuntut bahwa laki-laki harus menjadi yang pertama dalam segala hal membuat Suad terus memperdebatkan bagaimana kesetaraan gender yang seharusnya menjadi keseimbangan.


Dokter Kamal menjunjung tinggi maskulinitas laki-laki terhadap dominasi perempuan. Setinggi apapun jabatan perempuan, ia selalu menganggap Suad adalah istrinya, dan perempuan, dan makhluk subordinasi.


Suad diceraikan sepihak karena dokter Kamal tidak menerima pandangan Suad, kemudian ia menghibur dirinya dengan berbincang dengan asistennya yang selalu membuatnya lari dari kesedihan-kesedihan yang dialami.


Suad yang telah menggapai ambisinya. Sebagai politisi sukses, kiprahnya diparlemen dan pelbagai organisasi pergerakan perempuan menempatkan dirinya dalam lingkar elit kekuasaan. Latar belakang yang masih konservatif kala itu menjadikannya fenomena baru dalam isu kesetaaran jender.


Tetapi, kehampaan menyelimuti kehidupan pribadinya dan hampir membuat jiwanya tercerabut. Masalah demi masalah mendera, bahkan anak semesta wayangnya yang dia anggap sebagai harta paling berharga justru lebih akrab dengan sang ibu tiri.


Hingga suatu kala, ia memutuskan lari dari kehidupan pribadinya, bahkan berusaha lari dari tabiat perempuannya. Pada usia lima puluh lima tahun, ia membunuh kebahagiaannya sebagai perempuan. Ia melakukan apa saja untuk melupakan bahwa ia adalah perempuan.


Saat itu Suad merasa telah sampai pada masa tertentu dalam hidupnya. Mungkin itulah masa jenuh atau bahkan masa putus asa yang ia rasakan. Sekali-sekali ia terperanjat oleh keadaan jenuh dan sempit.


Padahal ia begitu yakin, dialah perempuan sukses yang berhasil mewujudkan setiap cita dan kehendak diri hingga dia mampu menjadikan dirinya sejak itu.


Kini dia adalah salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], Ketua Asosiasi  Wanita Karier [AWK], Sekretaris Ikatan Putri Arab [IPA] dan masih banyak lagi.


Dia bintang di semua tempat, tidak ada forum resmi perempuan yang tidak menempatkan dia dalam baris kehormatan. Tidak ada media massa yang dalam sepekan pun melewatkan fotonya, atau tidak mengutip perkataan dan pernyataannya.


Sampai saat ia masih berambisi melakukan semuanya. Ambisi untuk tampil di DPR. Ambisi untuk menjaga fenomena wanita karier. Ambisi membangun relasi yang diperlukan oleh IPA dan ambisi untuk lebih sukses lagi.


Di tengah galau dan hampa, Suad bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ‘’untuk apa semua ini? supaya aku bahagia.


Tapi apakah aku bahagia? atau mungkin ini adalah pengabdianku kepada tanah airku untuk mengangkat harkat dan derajat perempuan serta memerdekakannya? Tapi apakah kebahagiaan bisa lahir dan bersemayam ketika seseorang memutuskan untuk mengabdi kepada  negara? Atau mungkinkah kebahagiaanku berada pada kapasitas dan kemampuanku untuk mengabdi? Pertanyaan Suad terus mengalir.


Suad mencerca dirinya ataspertanyaan - pertanyaan itu. Dia bak seorang Milyuner yang merasa bahwa orang miskin tidak terbebani oleh ambisi dan penjagaan harta.


Sang Milyuner menderita semata karena belum merasakan beban kemiskinan. Suad menjadi wanita sukses dalam karier tetapi di sisi lain merasa bahwa ibu rumah tangga jauh lebih bahagia darinya.


Semata karena ia tidak pernah merasakan beban ibu rumah tangga. Seiring berjalannya waktu dan umur Suad bertambah, kegagalan datang dan menemukan sisi lemahnya dan kegagalan itu tampil lebih kuat darinya. Dia mengakui betapa kuat kegagalan mengurung dirinya.


Melalui novel ini, permainan politik dapat menghancurkan seseorang dalam sekejap jika tidak sejalan dengan atasan. Bagaimana pengaruh jejak karir akan bergantung pada urusan-urusan yang menjauhi pandangan yang bersebrangan dengan pihak atas.


Intinya satu, kamu akan selamat selama kamu tidak menentang. Kondisi politik yang seperti ini sejatinya memang struktur tetap yang diterapkan di mana-mana. Sebab permainan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan.


Pendukung hanyalah sebatas sorakan-sorakan yang hanya dibutuhkan ketika mereka butuh. Selebihnya hanya kerikil-kerikil yang berisik dan tak perlu digubris.


Yang sangat disayangkan Suad membiarkan dirinya jatuh ke dalam politik yang bukan menjadikan dirinya sepenuhnya.


Ia terlalu takut citranya akan buruk di mata masyarakat, ia mempertahankan ego yang memenuhi kepala, seolah ia lupa bahwa ia pernah memperjuangkan sistem yang kacau di Mesir. Ia diam tak melakukan apapun untuk masyarakat yang sedang terancam demi posisinya saat ini.







Editor : Arjuna H T M

Review By Susi Sipayung






Review Buku - Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Review Buku - Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

Iklan