terkini

Iklan Podcast

Desa Jala Dalam Labirin Memori

Lidinews
Selasa, 11/21/2023 07:21:00 PM WIB Last Updated 2023-11-21T12:21:04Z
Gambar : Desa Jala Dalam Labirin Memori. Lidinews.id


Nusa Tenggara Barat, Dompu, Lidinesws.id - Desa Jala adalah salah satu desa pesisir di timur Teluk Cempi. Sebagian besar masyarakatnya menggantunngkan hidupnya pada sumber laut. Laut serupa ibu yang selalu setia memberi kehidupan pada masyarakat pesisir ini. 


Dari kejauhan, di atas puncak Doro Kadeo (Gunung Kadeo) saya melepas pandang pada deretan rumah warga di pesisir pantai. Di bawah sapuan mentari sore, kilauan air laut tersapu cahaya mentari yang tak lama lagi akan kembali ke paraduannya. Memandang luasnya semesta dengan teluk Cempi yang tenang, membangkitkan memori dan kenangan masa lalu tentang Desa Jala.


Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) saya bersama teman biasa datang ke pesisir desa ini. Melihat nelayan yang menepi di pesisir dengan perahu yang sudah dipenuhi dengan ragam jenis ikan. Melihat mereka yang serupa pulang dari medan laga lalu memenangkan pertarungan untuk mendapatkan tangkapan yang memuaskan.


Nelayan-nelayan ini adalah pahlawan bagi keluarganya. Mereka berani menantang ganasnya ombak demi memastikan ekonomi keluarganya tetap stabil. Memastikan senyum sumringah di wajah anak dan istri yang setia menanti kepulangannya melaut. Walau tidak jarang cerita perahu nelayan terbalik karena dihempas ombak, lalu hampir meninggal karena tenggelam. Namun itu, tidak lantas menciutkan nyali mereka untuk tetap mengarungi luasnya samudra.


Sebagai tempat transaksi kala itu, ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tidak seberapa jauh dari pesisir pantai. Di situlah tempat bongkar muat ikan-ikan hasil tangkapan. Terjadi tawar menawar harga lalu menui kesepakatan. TPI merupakan pasar tradisional dimana masyarakat bertemu bahkan sebelum terang tanah. Sebelum adzan sholat subuh dikumandangkan dari pelantang mesjid terdekat.


Di masa itu, tidak banyak kendaraan. Motor masih bisa dihitung dengan jari. Jika pun ada, hanya dimiliki oleh mereka yang berduit. Masyarakat masih menaiki benhur, sebuah alat transportasi tradisional yang memanfaatkan tenaga kuda. Dengan transportasi inilah masyarakat datang untuk membawa hasil pertanian untuk ditukarkan dan dijual di TPI. Ini biasa dilakukan para pedagangan dari desa tetangga yang membawa beras, sayur mayur serta hasil pertanian lainnya.


Ramai itulah kata yang menggambarkan wilayah pesisir Desa Jala waktu itu. Karena masih kanak-kanak, saya biasa datang ke perahu yang baru tiba di pesisir. Ikut mendorong perahu semampunya bersama para nelayan. Sejurus kemudian diberi beberapa ekor ikan oleh nelayan sebagai imbalannya. Saya senang. Ada buah tangan yang bisa dibawa pulang ke rumah untuk dimasak ibu. 


Bahkan ketika ke sawah, saya sering ke desa ini. Jalan kaki. Kadang sendiri, malah lebih sering dengan teman-teman. Tidak saja melihat nelayan dengan hasil tangkapannya, tetapi juga untuk mandi di air laut. Mandi sepuasnya dengan membiarkan badan mungil dihempas oleh ombak yang tidak seberapa besar di pesisir pantai. Kemudian di pantai bermain pasir. Membangun rumah-rumahan dan kadang meneteskan pasir dari tangan lalu membentuk sesuatu yang diinginkan. 


Sekelabat kisah itu kini telah menjadi kenangan yang masih terpendam dalam memori. Kini Desa Jala telah banyak berubah. Kondisi bibir pantai telah mengalami penambalan bebatuan karena hempasan ombak yang hampir merusak rumah-rumah warga di pesisir. Rumah-rumah bertambah. Kendaraan hampir dimiliki semua warganya. 


Gang-gang yang dulu masih bebatuan, kini sudah dicor dengan semen. Sudah nampak rapi dengan deretan rumah yang berhempitan di pinggirnya. Namun sayang, TPI dulu sebagai simbol pasar warga pesisir sudah dirobohkan dan diganti dengan bangunan yang lebih modern. 


Namun kadang cerita-cerita yang memiriskan hati sayup-sayup terdengar dari desa pesisir ini. Tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Kadang di antaranya ketika ingin melaut harus mengutang terlebih dulu. Jika laut sedang pelit, maka mereka pulang tidak membawa banyak hasil. Sementara utang harus tetap dibayar. Sedangkan untuk memastikan dapur mengepul dan biaya sekolah anak, mereka harus memutar otak. Mungkin itu yang menjadi alasan, sebagian dari nelayan ini memutuskan menjadi TKI dan merambah sektor lain.


Memang tidak semua nelayan bernasib tidak beruntung. Ada yang masih bertahan dengan segala daya kemampuannya. Mereka tetap eksis untuk terus memilih menjadi nelayan karena baginya itu merupakan profesi yang harus terus dipertahankan walau kadang hasilnya tidak memuaskan. Di tengah minimnya minat generasi untuk mengikuti jejak orang tuanya, memilih menjadi nelayan merupakan profesi yang terhormat. Karena mereka lah salah satu penyumbang protein bagi masyarakat. Dari hasil tangkapannya di laut mereka juga ikut memberi andil pada sektor lain di jagat semesta ini.


Ketika menulis ini, tiba-tiba saya teringat penggalan lirik lagu yang berjudul Nelayan dari band Koes Plus


Membuang kail dan jala

Serakah tak ada di kamusnya 

Mereka bersama

Saling berusaha

Untuk menolong sesamanya

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Desa Jala Dalam Labirin Memori

Iklan