Nama : Petrus Verianus Atok / Bung Very Nahak
Wakil Ketua Bidang Politik GMNI Kota Medan
Gambar : Penulis Opini - Budaya Korupsi Dan Gagalnya Sistem Pendidikan Indonesia. Lidinews.id
Lidinews.id - Dari zaman sebelum merdeka hingga sekarang, bangsa Indonesia telah mengenal pentingnya pendidikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Penulis meyakini
bahwa pendidikan adalah jantungnya masa depan sebuah bangsa. Ia bukan sekadar
ruang kelas dan ijazah, melainkan ruang lahirnya nilai-nilai luhur yang
membentuk arah perubahan. Namun, berdasarkan riset dan pengamatan langsung
penulis di berbagai kampus di Provinsi Sumatera Utara khususnya Kota Medan,
realitas pendidikan tinggi saat ini belum mencerminkan nilai-nilai ideal
sebagaimana yang cita-citakan, bahwa kondisi pendidikan kita sebenarnya sedang
tidak baik-baik saja.
Undang-undang
yang sama secara tegas menyatakan bahwa pendidikan tinggi harus berlandaskan
pada nilai-nilai kebenaran ilmiah, keadilan, kemanusiaan, kebhinekaan, dan
kejujuran akademik. Sayangnya, nilai-nilai ini belum sepenuhnya menjadi ruh di
banyak institusi pendidikan. Kampus-kampus masih banyak yang hanya berfungsi
secara administratif, belum menjadi ruang hidup yang mendorong lahirnya
pemikiran kritis, integritas, dan keberagaman. Bahkan, kebenaran ilmiah kerap
dikaburkan oleh kepentingan pragmatis, menjadikan pendidikan sebagai
formalitas, bukan proses pembentukan karakter.
Ketimpangan
akses pendidikan pun masih terjadi, dan rasa keadilan belum sepenuhnya
dirasakan oleh seluruh mahasiswa. Maka tidak mengherankan apabila budaya
korupsi tetap bertahan dan berkembang di sistem pendidikan Indonesia. Ketika
pendidikan gagal menanamkan kejujuran dan etika sejak dini, maka generasi yang
tumbuh pun akan terbiasa dengan kompromi terhadap nilai.
Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa korupsi di sektor pendidikan bukan sekadar asumsi.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumlah Kasus : pada tahun
2023, ICW mencatat 59 kasus korupsi di sektor pendidikan, meningkat dari 40
kasus pada Tahun 2022.
Salah satu kasus
besar adalah korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di berbagai daerah,
yang seharusnya digunakan untuk operasional pendidikan justru dikorupsi oleh
oknum pejabat sekolah dan pemerintah daerah. Tak hanya itu, kasus korupsi di
Kementerian Pendidikan, seperti korupsi pengadaan sarana prasarana pendidikan,
menjadi bukti bahwa sistem pendidikan kita belum steril dari praktik tindak
pidana korupsi.
Kasus-kasus
tersebut memperlihatkan bagaimana pendidikan kita gagal menjadi benteng
terakhir moral bangsa. Alih-alih menjadi agen perubahan, institusi pendidikan
justru kerap terjebak dalam pusaran sistem yang korup. Jika kampus tidak
menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keberpihakan pada keadilan, maka generasi
yang lahir pun hanya akan melanjutkan budaya korupsi yang sudah mengakar.
Penulis percaya,
ketika keadilan dan kebhinekaan benar-benar tumbuh dalam ruang-ruang kuliah,
maka arah bangsa Indonesia akan semakin kuat dalam keberagaman. Jika kampus
menjadi tempat suburnya pemikiran kritis dan kejujuran, kita masih bisa berharap
pada masa depan yang lebih baik bebas dari budaya korupsi yang selama ini
mencengkeram banyak sektor kehidupan.
Pada akhirnya,
pendidikan sejati bukan hanya tentang lulus atau tidak, melainkan tentang
membentuk manusia seutuhnya yang berpikir, beretika, dan berempati. Apabila
nilai-nilai dalam undang-undang pendidikan tinggi diterapkan secara nyata, maka
Indonesia akan melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga
bermoral, Pancasilais, dan siap membangun bangsa dengan integritas.
Penulis berpesan
bahwa kita tidak hanya mengejar akreditasi atau rangking, tetapi bagaimana cara
menghidupkan kembali nilai-nilai dasar pendidikan. Kampus harus menjadi rumah
yang mencerdaskan sekaligus memanusiakan. Penulis ulangi lagi Kampus harus menjadi
rumah yang mencerdaskan sekaligus memanusiakan. Jika tidak, maka pendidikan
tinggi kita akan kehilangan ruhnya.
Editor : Arjuna H T Munthe