terkini

Iklan Podcast

Di Bawah Bayang Kapitalisme, Buruh Terus Bertahan - Opini

Lidinews
Kamis, 5/01/2025 07:10:00 PM WIB Last Updated 2025-05-01T12:10:21Z

Penulis : Ari Damanik

Kader KTM GMNI Sumatera Utara 2025

Gambar : Penulis Opini - Di Bawah Bayang Kapitalisme, Buruh Terus Bertahan. Lidinews.id

 

Lidinews.id - Hari Buruh bukan sekadar perayaan atau rutinitas tahunan yang dihiasi orasi dan poster. Ia adalah simbol perlawanan panjang kelas pekerja terhadap sistem yang menindas. Di bawah bayang kapitalisme yang rakus, buruh dipaksa terus bertahan—dalam upah murah, sistem kontrak tak pasti, dan jam kerja yang mengikis waktu hidup.

 

Kapitalisme modern menjanjikan efisiensi dan kemajuan, tapi di balik mesin-mesin dan angka-angka pertumbuhan itu, ada peluh, letih, dan suara yang kerap diabaikan: suara buruh. Mereka bukan sekadar roda penggerak ekonomi, mereka adalah fondasi nyata yang menopang bangsa—namun terlalu sering, mereka dibiarkan goyah.

 

Salah satu wajah ketidakadilan paling nyata hari ini adalah praktik outsourcing dan sistem kerja kontrak. Buruh tidak lagi dipandang sebagai manusia dengan hak dan martabat, melainkan sebagai angka yang bisa diganti kapan saja. Mereka bekerja tanpa kepastian, tanpa jaminan hari tua, bahkan tanpa keberanian untuk bersuara karena takut diberhentikan. Sistem ini menciptakan ketakutan yang sistemik—di mana hak berserikat, berorganisasi, dan menuntut keadilan menjadi barang mewah yang hanya bisa dimiliki mereka yang "tetap". Padahal, merekalah yang menghidupkan industri. Merekalah yang seharusnya menjadi subjek, bukan korban dalam dunia kerja.

Pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru terlalu sering berdiri di barisan pemodal. Undang-undang yang lahir bukan untuk memperkuat posisi buruh, tapi untuk mempermudah eksploitasi. Lihat saja UU Cipta Kerja—dalam nama “kemudahan investasi”, hak-hak buruh dikorbankan secara terang-terangan.

 

Fleksibilitas kerja yang dijanjikan tak lain adalah upaya melegalkan sistem kerja tidak pasti, menurunkan standar upah, dan memperlemah posisi serikat buruh. Ini bukan keberpihakan, tapi pengkhianatan terhadap mereka yang menghidupi negeri ini dengan tenaga dan keringat.

 

Selain sistem kontrak dan outsourcing, praktik union busting atau pemberangusan serikat buruh masih menjadi luka terbuka di dunia kerja kita. Banyak perusahaan secara aktif menghalangi buruh untuk membentuk atau bergabung dengan serikat. Ada yang diintimidasi, dipindahkan secara sepihak, bahkan dipecat hanya karena bersuara.

 

Ironisnya, negara seolah menutup mata. Padahal, hak berserikat dijamin oleh undang-undang dan konstitusi. Apa artinya demokrasi jika suara buruh dibungkam di tempat mereka mencari nafkah?

 

Tak hanya itu, buruh perempuan menghadapi tekanan berlapis. Selain rentan terhadap upah lebih rendah, mereka juga sering dihadapkan pada diskriminasi, pelecehan, dan beban ganda antara pekerjaan dan peran domestik.

 

Fasilitas seperti cuti melahirkan, ruang laktasi, dan perlindungan dari pelecehan sering kali hanya menjadi formalitas di atas kertas. Negara gagal hadir dalam memastikan ruang kerja yang aman dan adil bagi perempuan pekerja. Pemberdayaan tanpa perlindungan hanyalah slogan kosong.

 

Lebih luas lagi, kita dihadapkan pada ketimpangan kesejahteraan yang mencolok. Di satu sisi, pemilik modal terus meraup keuntungan besar, sementara di sisi lain, jutaan buruh masih bergelut dengan upah di bawah kebutuhan hidup layak.

 

Ketika harga bahan pokok melambung, buruhlah yang harus memutar otak untuk bertahan. Ketika perusahaan mencatat laba, buruh tetap stagnan dalam ketidakpastian. Ini bukan semata soal ekonomi, ini soal keadilan.

 

Hari Buruh bukan akhir dari perjuangan, tapi pengingat bahwa perlawanan masih harus terus dinyalakan. Selama buruh masih dipinggirkan, selama hak-hak dasar mereka masih ditawar murah atas nama “pertumbuhan”, maka Hari Buruh harus menjadi momen konsolidasi: memperkuat solidaritas, membangun kesadaran kelas, dan melawan balik penindasan yang dilembagakan melalui kebijakan negara.

 

Buruh tidak meminta lebih, hanya yang adil. Hak atas kerja yang manusiawi, upah yang layak, dan hidup yang bermartabat. Ini bukan utopia—ini adalah hak dasar yang dijamin konstitusi, dan seharusnya diperjuangkan oleh negara. Tapi ketika negara absen, maka rakyat tak boleh diam. Serikat, komunitas, dan gerakan akar rumput harus bersatu. Karena sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani melawan.

 

Di bawah bayang kapitalisme, buruh memang terus bertahan. Tapi mereka tak akan selamanya diam. Mereka belajar, bersatu, dan pada akhirnya: akan menang.

 

 

 

Editor : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Di Bawah Bayang Kapitalisme, Buruh Terus Bertahan - Opini

Iklan