Penulis : Ari Damanik
Kader
KTM GMNI Sumatera Utara 2025
Gambar : Penulis Opini - Di Bawah Bayang Kapitalisme, Buruh Terus Bertahan. Lidinews.id
Lidinews.id
- Hari Buruh bukan sekadar perayaan atau rutinitas
tahunan yang dihiasi orasi dan poster. Ia adalah simbol perlawanan panjang
kelas pekerja terhadap sistem yang menindas. Di bawah bayang kapitalisme yang
rakus, buruh dipaksa terus bertahan—dalam upah murah, sistem kontrak tak pasti,
dan jam kerja yang mengikis waktu hidup.
Kapitalisme
modern menjanjikan efisiensi dan kemajuan, tapi di balik mesin-mesin dan
angka-angka pertumbuhan itu, ada peluh, letih, dan suara yang kerap diabaikan:
suara buruh. Mereka bukan sekadar roda penggerak ekonomi, mereka adalah fondasi
nyata yang menopang bangsa—namun terlalu sering, mereka dibiarkan goyah.
Salah satu wajah
ketidakadilan paling nyata hari ini adalah praktik outsourcing dan sistem kerja
kontrak. Buruh tidak lagi dipandang sebagai manusia dengan hak dan martabat,
melainkan sebagai angka yang bisa diganti kapan saja. Mereka bekerja tanpa
kepastian, tanpa jaminan hari tua, bahkan tanpa keberanian untuk bersuara
karena takut diberhentikan. Sistem ini menciptakan ketakutan yang sistemik—di
mana hak berserikat, berorganisasi, dan menuntut keadilan menjadi barang mewah
yang hanya bisa dimiliki mereka yang "tetap". Padahal, merekalah yang
menghidupkan industri. Merekalah yang seharusnya menjadi subjek, bukan korban
dalam dunia kerja.
Pemerintah, yang
seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru terlalu sering berdiri di barisan
pemodal. Undang-undang yang lahir bukan untuk memperkuat posisi buruh, tapi
untuk mempermudah eksploitasi. Lihat saja UU Cipta Kerja—dalam nama “kemudahan
investasi”, hak-hak buruh dikorbankan secara terang-terangan.
Fleksibilitas
kerja yang dijanjikan tak lain adalah upaya melegalkan sistem kerja tidak
pasti, menurunkan standar upah, dan memperlemah posisi serikat buruh. Ini bukan
keberpihakan, tapi pengkhianatan terhadap mereka yang menghidupi negeri ini
dengan tenaga dan keringat.
Selain sistem
kontrak dan outsourcing, praktik union busting atau pemberangusan serikat buruh
masih menjadi luka terbuka di dunia kerja kita. Banyak perusahaan secara aktif
menghalangi buruh untuk membentuk atau bergabung dengan serikat. Ada yang
diintimidasi, dipindahkan secara sepihak, bahkan dipecat hanya karena bersuara.
Ironisnya,
negara seolah menutup mata. Padahal, hak berserikat dijamin oleh undang-undang
dan konstitusi. Apa artinya demokrasi jika suara buruh dibungkam di tempat
mereka mencari nafkah?
Tak hanya itu,
buruh perempuan menghadapi tekanan berlapis. Selain rentan terhadap upah lebih
rendah, mereka juga sering dihadapkan pada diskriminasi, pelecehan, dan beban
ganda antara pekerjaan dan peran domestik.
Fasilitas
seperti cuti melahirkan, ruang laktasi, dan perlindungan dari pelecehan sering
kali hanya menjadi formalitas di atas kertas. Negara gagal hadir dalam
memastikan ruang kerja yang aman dan adil bagi perempuan pekerja. Pemberdayaan
tanpa perlindungan hanyalah slogan kosong.
Lebih luas lagi,
kita dihadapkan pada ketimpangan kesejahteraan yang mencolok. Di satu sisi,
pemilik modal terus meraup keuntungan besar, sementara di sisi lain, jutaan
buruh masih bergelut dengan upah di bawah kebutuhan hidup layak.
Ketika harga
bahan pokok melambung, buruhlah yang harus memutar otak untuk bertahan. Ketika
perusahaan mencatat laba, buruh tetap stagnan dalam ketidakpastian. Ini bukan
semata soal ekonomi, ini soal keadilan.
Hari Buruh bukan
akhir dari perjuangan, tapi pengingat bahwa perlawanan masih harus terus dinyalakan.
Selama buruh masih dipinggirkan, selama hak-hak dasar mereka masih ditawar
murah atas nama “pertumbuhan”, maka Hari Buruh harus menjadi momen konsolidasi:
memperkuat solidaritas, membangun kesadaran kelas, dan melawan balik penindasan
yang dilembagakan melalui kebijakan negara.
Buruh tidak
meminta lebih, hanya yang adil. Hak atas kerja yang manusiawi, upah yang layak,
dan hidup yang bermartabat. Ini bukan utopia—ini adalah hak dasar yang dijamin
konstitusi, dan seharusnya diperjuangkan oleh negara. Tapi ketika negara absen,
maka rakyat tak boleh diam. Serikat, komunitas, dan gerakan akar rumput harus
bersatu. Karena sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani melawan.
Di bawah bayang
kapitalisme, buruh memang terus bertahan. Tapi mereka tak akan selamanya diam.
Mereka belajar, bersatu, dan pada akhirnya: akan menang.
Editor
: Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe