Penulis : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe
Sekjend GMNI Tanah Karo
![]() |
Gambar : Merdeka Belajar dalam Sistem yang Tidak Merdeka - Opini. Lidinews.id |
Hari Pendidikan Nasional yang
diperingati setiap 2 Mei sering kali dirayakan dengan slogan-slogan manis,
panggung seremoni, dan parade kebanggaan institusional.
Namun, di balik kemeriahan itu,
kita harus bertanya: apakah pendidikan kita benar-benar berpihak pada rakyat?
Ataukah ia telah menjadi mesin kapitalisme baru, di mana ilmu dijajakan seperti
barang dagangan, dan siswa—yang seharusnya dibina menjadi manusia merdeka—malah
diperlakukan sebagai konsumen?
Pendidikan adalah medan
perjuangan. Bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi upaya pembebasan manusia
dari ketidaktahuan, dari belenggu kuasa, dan dari kemiskinan struktural. Namun
sayang, semangat pembebasan itu nyaris hilang dalam sistem pendidikan hari ini
yang kian kering makna.
Kapitalisasi Pendidikan dan
Tumbuhnya Pasar Ilmu
Pendidikan di Indonesia telah
lama mengalami komersialisasi. Sekolah-sekolah, terutama di tingkat menengah
dan tinggi, berubah menjadi institusi bisnis. Universitas negeri yang
seharusnya menjadi pilar pengetahuan publik, kini menetapkan tarif UKT (Uang
Kuliah Tunggal) yang menyesakkan dada. Di sisi lain, sekolah-sekolah swasta
menjual “label” dan “prestise”, seolah pendidikan adalah merek yang bisa dibeli
hanya oleh yang berduit.
Kurikulum dijalankan bukan untuk
menjawab kebutuhan rakyat, melainkan untuk memenuhi hasrat pasar tenaga kerja.
Pendidikan kita tidak sedang memanusiakan manusia, melainkan mencetak
robot-robot berseragam rapi, siap tunduk dalam sistem produksi. Anak-anak
dibentuk menjadi tenaga kerja yang “adaptif”, bukan warga negara yang kritis
dan sadar hak.
Pendidikan semestinya
membebaskan, tapi kini justru menindas lewat ongkos, diskriminasi akses, dan
ketimpangan kualitas. Anak petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil harus
bersaing dengan anak-anak dari keluarga elite dalam sistem yang tidak pernah
benar-benar adil sejak awal. Dan ketika mereka gagal, negara dengan enteng
menyalahkan mereka dengan dalih “kurang kompeten”.
Sekolah Jadi Mesin Disiplin,
Bukan Ruang Emansipasi
Ketika pendidikan dijadikan
komoditas, maka orientasinya bukan lagi pada pencerdasan, tapi pada
penyesuaian. Sekolah bukan lagi ruang dialektika, melainkan mesin pendisiplinan
massal. Anak-anak dicekoki dengan materi yang sering kali tak kontekstual.
Mereka dituntut patuh, bukan kritis; rajin mencatat, bukan bertanya.
Ki Hajar Dewantara, sang Bapak
Pendidikan Nasional, pernah berkata, “Anak-anak jangan hanya dididik menjadi pintar,
tetapi juga menjadi manusia merdeka.” Namun, kini sekolah justru memproduksi
ketakutan, kegelisahan, dan kepatuhan buta. Sistem ranking, ujian nasional, dan
seleksi masuk perguruan tinggi hanya menjadi instrumen penyaringan kasar, bukan
pengembangan potensi manusia.
Para guru pun terjepit. Mereka
tak lagi menjadi pelita, tetapi hanya perpanjangan tangan kurikulum negara.
Banyak dari mereka kehilangan otonomi berpikir dan ruang untuk membebaskan
muridnya. Mereka dikekang dengan sistem penilaian administratif, beban
sertifikasi, dan tekanan angka-angka.
Siswa Jadi Pasar, Ilmu Jadi
Etalase
Dalam sistem pendidikan hari ini,
siswa adalah target pasar. Lihat saja bagaimana lembaga bimbingan belajar
tumbuh subur, menawarkan paket-paket sukses UTBK, SIMAK UI, dan seleksi
lainnya. Semua dipasarkan dengan pendekatan bisnis. Bahkan platform digital
pendidikan pun lebih tertarik pada jumlah klik dan viewer daripada mendidik
secara substansial.
Perguruan tinggi pun ikut
berlomba menciptakan “produk” akademik yang laku dijual. Program studi
dirancang bukan berdasarkan urgensi keilmuan, tetapi tren lapangan kerja.
Penelitian dosen pun diarahkan untuk meraih skor publikasi internasional, bukan
menyelesaikan masalah rakyat. Akademisi sibuk memburu “impact factor”, bukan
“impact sosial”.
Pendidikan menjadi industri.
Sementara siswa, mahasiswa, dan orang tua menjadi pelanggan. Yang tak mampu
bayar, ya tinggal. Begitu saja.
Pendidikan dan Ketimpangan Sosial
Di pelosok negeri, ribuan sekolah
masih rusak, kekurangan guru, dan minim fasilitas. Di sisi lain, kota-kota
besar memamerkan gedung-gedung megah berlabel “internasional”. Ini bukan
sekadar ketimpangan infrastruktur, tapi ketimpangan harapan. Anak-anak di desa
tidak bermimpi menjadi ilmuwan atau seniman, karena sejak kecil sudah tahu:
akses itu bukan milik mereka.
Apa gunanya merayakan Hardiknas
jika anak-anak di Papua harus berjalan kaki belasan kilometer untuk sampai
sekolah, sementara anak-anak di Jakarta bisa belajar dengan fasilitas digital
kelas dunia? Apa makna merdeka belajar jika hanya sebagian kecil yang
benar-benar bisa belajar dengan layak?
Ketimpangan sosial dalam
pendidikan adalah bentuk kekerasan struktural. Ia membunuh mimpi sebelum sempat
tumbuh. Ia menciptakan kasta-kasta sosial yang tak kasat mata tapi mematikan.
Ilmu Tak Lagi Mencerahkan
Ilmu, yang seharusnya menjadi
cahaya peradaban, kini direduksi menjadi alat produksi. Di universitas,
filsafat dianggap tak relevan, sastra dianggap tidak produktif, dan seni
dianggap tak menguntungkan. Semua harus efisien, praktis, dan sesuai industri.
Padahal, bangsa ini lahir dari
pemikiran, bukan dari pabrik. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, semuanya
adalah pembaca buku yang kritis dan pembentuk wacana. Mereka bukan lulusan
program akselerasi, bukan hasil output kurikulum 4.0. Tapi kini, mahasiswa
tidak diajak berpikir, hanya diajarkan untuk “survive” dalam pasar kerja.
Ilmu menjadi alat kuasa, bukan
alat pencerahan. Ia digunakan untuk mempertahankan status quo, bukan merobek
tirani. Maka jangan heran, banyak orang pintar yang justru kehilangan nurani.
Mereka tahu banyak hal, tapi tak tahu untuk siapa dan untuk apa.
Mendidik Untuk Apa?
Pertanyaan mendasar yang perlu
kita ajukan pada Hardiknas ini adalah: kita mendidik untuk apa? Untuk mencetak
pekerja? Untuk menambah gelar? Atau untuk menciptakan manusia merdeka yang
berpikir kritis, berani melawan ketidakadilan, dan setia pada nilai kemanusiaan?
Jika pendidikan hanya diarahkan
pada akumulasi angka dan sertifikat, maka kita sedang membangun bangsa yang
besar di atas fondasi rapuh. Kita sedang mencetak teknokrat tanpa nurani,
birokrat tanpa empati, dan pemimpin tanpa visi.
Kita butuh pendidikan yang
memihak. Yang berpihak pada rakyat kecil. Yang tidak malu membicarakan
ketidakadilan. Yang berani melawan hegemoni pasar. Yang menyatukan nalar dan
nurani, ilmu dan keberpihakan, logika dan kasih sayang.
Hardiknas tahun ini harus menjadi
momentum kritik, bukan perayaan semu. Kita tidak butuh lebih banyak spanduk
atau slogan. Kita butuh keberanian untuk bertanya: apakah pendidikan kita
benar-benar merdeka? Ataukah ia telah menjadi alat baru dari penjajahan gaya
baru?
Selama pendidikan masih menjadi
komoditas, selama siswa masih dianggap pasar, dan selama ilmu masih dijual
sebagai barang dagangan, maka kita sedang berjalan mundur. Mari kembalikan
pendidikan kepada fitrahnya: membebaskan manusia, memanusiakan manusia, dan
menjadikan ilmu sebagai cahaya perubahan, bukan komoditas.
Karena sejatinya, pendidikan
tanpa rasa, adalah pendidikan yang kehilangan arah.