terkini

Iklan Podcast

Merdeka Belajar dalam Sistem yang Tidak Merdeka - Opini

Lidinews
Jumat, 5/02/2025 10:14:00 PM WIB Last Updated 2025-05-02T15:14:45Z

Penulis : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe

Sekjend GMNI Tanah Karo

Gambar : Merdeka Belajar dalam Sistem yang Tidak Merdeka - Opini. Lidinews.id

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei sering kali dirayakan dengan slogan-slogan manis, panggung seremoni, dan parade kebanggaan institusional.

 

Namun, di balik kemeriahan itu, kita harus bertanya: apakah pendidikan kita benar-benar berpihak pada rakyat? Ataukah ia telah menjadi mesin kapitalisme baru, di mana ilmu dijajakan seperti barang dagangan, dan siswa—yang seharusnya dibina menjadi manusia merdeka—malah diperlakukan sebagai konsumen?

 

Pendidikan adalah medan perjuangan. Bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi upaya pembebasan manusia dari ketidaktahuan, dari belenggu kuasa, dan dari kemiskinan struktural. Namun sayang, semangat pembebasan itu nyaris hilang dalam sistem pendidikan hari ini yang kian kering makna.

 

Kapitalisasi Pendidikan dan Tumbuhnya Pasar Ilmu

Pendidikan di Indonesia telah lama mengalami komersialisasi. Sekolah-sekolah, terutama di tingkat menengah dan tinggi, berubah menjadi institusi bisnis. Universitas negeri yang seharusnya menjadi pilar pengetahuan publik, kini menetapkan tarif UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang menyesakkan dada. Di sisi lain, sekolah-sekolah swasta menjual “label” dan “prestise”, seolah pendidikan adalah merek yang bisa dibeli hanya oleh yang berduit.

 

Kurikulum dijalankan bukan untuk menjawab kebutuhan rakyat, melainkan untuk memenuhi hasrat pasar tenaga kerja. Pendidikan kita tidak sedang memanusiakan manusia, melainkan mencetak robot-robot berseragam rapi, siap tunduk dalam sistem produksi. Anak-anak dibentuk menjadi tenaga kerja yang “adaptif”, bukan warga negara yang kritis dan sadar hak.

 

Pendidikan semestinya membebaskan, tapi kini justru menindas lewat ongkos, diskriminasi akses, dan ketimpangan kualitas. Anak petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil harus bersaing dengan anak-anak dari keluarga elite dalam sistem yang tidak pernah benar-benar adil sejak awal. Dan ketika mereka gagal, negara dengan enteng menyalahkan mereka dengan dalih “kurang kompeten”.

 

Sekolah Jadi Mesin Disiplin, Bukan Ruang Emansipasi

Ketika pendidikan dijadikan komoditas, maka orientasinya bukan lagi pada pencerdasan, tapi pada penyesuaian. Sekolah bukan lagi ruang dialektika, melainkan mesin pendisiplinan massal. Anak-anak dicekoki dengan materi yang sering kali tak kontekstual. Mereka dituntut patuh, bukan kritis; rajin mencatat, bukan bertanya.

 

Ki Hajar Dewantara, sang Bapak Pendidikan Nasional, pernah berkata, “Anak-anak jangan hanya dididik menjadi pintar, tetapi juga menjadi manusia merdeka.” Namun, kini sekolah justru memproduksi ketakutan, kegelisahan, dan kepatuhan buta. Sistem ranking, ujian nasional, dan seleksi masuk perguruan tinggi hanya menjadi instrumen penyaringan kasar, bukan pengembangan potensi manusia.

 

Para guru pun terjepit. Mereka tak lagi menjadi pelita, tetapi hanya perpanjangan tangan kurikulum negara. Banyak dari mereka kehilangan otonomi berpikir dan ruang untuk membebaskan muridnya. Mereka dikekang dengan sistem penilaian administratif, beban sertifikasi, dan tekanan angka-angka.

 

Siswa Jadi Pasar, Ilmu Jadi Etalase

Dalam sistem pendidikan hari ini, siswa adalah target pasar. Lihat saja bagaimana lembaga bimbingan belajar tumbuh subur, menawarkan paket-paket sukses UTBK, SIMAK UI, dan seleksi lainnya. Semua dipasarkan dengan pendekatan bisnis. Bahkan platform digital pendidikan pun lebih tertarik pada jumlah klik dan viewer daripada mendidik secara substansial.

 

Perguruan tinggi pun ikut berlomba menciptakan “produk” akademik yang laku dijual. Program studi dirancang bukan berdasarkan urgensi keilmuan, tetapi tren lapangan kerja. Penelitian dosen pun diarahkan untuk meraih skor publikasi internasional, bukan menyelesaikan masalah rakyat. Akademisi sibuk memburu “impact factor”, bukan “impact sosial”.

 

Pendidikan menjadi industri. Sementara siswa, mahasiswa, dan orang tua menjadi pelanggan. Yang tak mampu bayar, ya tinggal. Begitu saja.

 

Pendidikan dan Ketimpangan Sosial

Di pelosok negeri, ribuan sekolah masih rusak, kekurangan guru, dan minim fasilitas. Di sisi lain, kota-kota besar memamerkan gedung-gedung megah berlabel “internasional”. Ini bukan sekadar ketimpangan infrastruktur, tapi ketimpangan harapan. Anak-anak di desa tidak bermimpi menjadi ilmuwan atau seniman, karena sejak kecil sudah tahu: akses itu bukan milik mereka.

 

Apa gunanya merayakan Hardiknas jika anak-anak di Papua harus berjalan kaki belasan kilometer untuk sampai sekolah, sementara anak-anak di Jakarta bisa belajar dengan fasilitas digital kelas dunia? Apa makna merdeka belajar jika hanya sebagian kecil yang benar-benar bisa belajar dengan layak?

 

Ketimpangan sosial dalam pendidikan adalah bentuk kekerasan struktural. Ia membunuh mimpi sebelum sempat tumbuh. Ia menciptakan kasta-kasta sosial yang tak kasat mata tapi mematikan.

 

Ilmu Tak Lagi Mencerahkan

Ilmu, yang seharusnya menjadi cahaya peradaban, kini direduksi menjadi alat produksi. Di universitas, filsafat dianggap tak relevan, sastra dianggap tidak produktif, dan seni dianggap tak menguntungkan. Semua harus efisien, praktis, dan sesuai industri.

 

Padahal, bangsa ini lahir dari pemikiran, bukan dari pabrik. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, semuanya adalah pembaca buku yang kritis dan pembentuk wacana. Mereka bukan lulusan program akselerasi, bukan hasil output kurikulum 4.0. Tapi kini, mahasiswa tidak diajak berpikir, hanya diajarkan untuk “survive” dalam pasar kerja.

 

Ilmu menjadi alat kuasa, bukan alat pencerahan. Ia digunakan untuk mempertahankan status quo, bukan merobek tirani. Maka jangan heran, banyak orang pintar yang justru kehilangan nurani. Mereka tahu banyak hal, tapi tak tahu untuk siapa dan untuk apa.

 

Mendidik Untuk Apa?

Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan pada Hardiknas ini adalah: kita mendidik untuk apa? Untuk mencetak pekerja? Untuk menambah gelar? Atau untuk menciptakan manusia merdeka yang berpikir kritis, berani melawan ketidakadilan, dan setia pada nilai kemanusiaan?

 

Jika pendidikan hanya diarahkan pada akumulasi angka dan sertifikat, maka kita sedang membangun bangsa yang besar di atas fondasi rapuh. Kita sedang mencetak teknokrat tanpa nurani, birokrat tanpa empati, dan pemimpin tanpa visi.

 

Kita butuh pendidikan yang memihak. Yang berpihak pada rakyat kecil. Yang tidak malu membicarakan ketidakadilan. Yang berani melawan hegemoni pasar. Yang menyatukan nalar dan nurani, ilmu dan keberpihakan, logika dan kasih sayang.

 

Hardiknas tahun ini harus menjadi momentum kritik, bukan perayaan semu. Kita tidak butuh lebih banyak spanduk atau slogan. Kita butuh keberanian untuk bertanya: apakah pendidikan kita benar-benar merdeka? Ataukah ia telah menjadi alat baru dari penjajahan gaya baru?

 

Selama pendidikan masih menjadi komoditas, selama siswa masih dianggap pasar, dan selama ilmu masih dijual sebagai barang dagangan, maka kita sedang berjalan mundur. Mari kembalikan pendidikan kepada fitrahnya: membebaskan manusia, memanusiakan manusia, dan menjadikan ilmu sebagai cahaya perubahan, bukan komoditas.

Karena sejatinya, pendidikan tanpa rasa, adalah pendidikan yang kehilangan arah.

 

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Merdeka Belajar dalam Sistem yang Tidak Merdeka - Opini

Iklan