terkini

Iklan Podcast

Refleksi Hari Buruh Internasional. Antara Ketertindasan Struktural dan Kewajiban Melawan

Lidinews
Kamis, 5/01/2025 10:37:00 PM WIB Last Updated 2025-05-01T15:37:49Z

Penulis : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe

Sekjend GMNI Tanah Karo


Gambar : Refleksi Hari Buruh Internasional. Antara Ketertindasan Struktural dan Kewajiban Melawan. Lidinews.id

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Tapi di negeri ini, peringatan itu tak lebih dari seremoni kosong. Di balik parade dan poster tuntutan, buruh tetap menjadi korban paling setia dari ketidakadilan sistemik yang dipelihara negara dan pasar.

 

Ilusi Kemakmuran dalam Sistem yang Menindas

Tak ada mesin berjalan tanpa buruh. Tak ada produksi tanpa tenaga kerja. Tapi siapa yang paling cepat dilupakan dalam laporan tahunan perusahaan? Siapa yang tak disebut dalam narasi sukses ekonomi nasional? Jawabannya jelas: buruh.

 

Kesejahteraan buruh hari ini masih terjebak dalam ilusi. Mereka dipuji sebagai pahlawan pembangunan, namun realitasnya mereka tetap bekerja dalam tekanan, hidup dalam ketidakpastian, dan disingkirkan dalam pengambilan kebijakan. Upah minimum tidak menyesuaikan harga pasar, jam kerja melampaui batas kemanusiaan, dan hak berserikat terus direpresi secara halus maupun terang-terangan.

 

UU Cipta Kerja dan Melegalkan Perbudakan Modern

Pengesahan UU Cipta Kerja adalah puncak dari kemunduran perlindungan buruh. Pemerintah secara terang-terangan berpihak pada investor, bukan rakyatnya. Buruh kini terancam hidup dalam sistem kerja kontrak seumur hidup, pesangon dikurangi, dan outsourcing dilegalkan tanpa batas.

 

Inikah bentuk penghargaan terhadap "tulang punggung pembangunan"? Tidak. Ini adalah penghinaan struktural terhadap nilai kemanusiaan buruh.

 

Negara yang Memihak Modal, Bukan Rakyat

Fungsi negara semestinya melindungi. Tapi dalam banyak kasus, negara justru menjadi kaki tangan modal. Aparat digunakan bukan untuk melindungi demonstrasi buruh, tapi untuk membungkamnya. Parlemen tidak menjadi wakil suara buruh, tapi corong elite pemilik kepentingan.

 

Apa bedanya negara dan korporasi kalau fungsi dasarnya adalah mengamankan laba, bukan menjamin keadilan?

 

Kebangkitan Gerakan Buruh Lokal

Perlawanan tidak hanya terjadi di pusat. Justru di daerah-daerah, buruh mengalami penindasan lebih sunyi. Buruh perkebunan, buruh tambang, buruh sektor informal—mereka semua bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai.

 

Tapi dari sinilah kekuatan bisa lahir. Gerakan buruh lokal harus bersatu, membangun kesadaran, dan menciptakan jaringan perlawanan. Dari desa ke desa, dari kampus ke pabrik, dari ladang ke parlemen.

 

Sejarah Indonesia tidak asing dengan kekuatan rakyat kecil. Maka jangan remehkan suara-suara dari pinggiran.

 

1 Mei: Hari Perlawanan, Bukan Sekadar Peringatan

Hari Buruh bukan untuk seremoni, bukan sekadar panggung orasi. Ini adalah momen menyusun strategi, membangun kekuatan, dan mempertegas posisi: buruh bukan objek, tapi subjek perubahan sosial.

 

Ketika buruh bersatu, bukan hanya pabrik yang bisa diguncang, tapi sistem yang menindas pun bisa diruntuhkan.

 

Jangan Diam!

Diam berarti tunduk. Diam berarti setuju. Diam berarti pengkhianatan terhadap sesama pekerja yang masih berjuang di tengah ketidakpastian.

 

Saat negara dan pasar terus bersekongkol melucuti hak buruh, maka satu-satunya jalan adalah melawan. Bukan untuk menciptakan kekacauan, tetapi untuk menegakkan kembali keadilan yang selama ini diingkari.

Hari ini, 1 Mei, bukan hari libur biasa. Ini hari untuk menyatakan: buruh bukan budak!

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Refleksi Hari Buruh Internasional. Antara Ketertindasan Struktural dan Kewajiban Melawan

Iklan