Penulis : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe
Sekjend GMNI Tanah Karo
Gambar : Refleksi Hari Buruh Internasional. Antara Ketertindasan Struktural dan Kewajiban Melawan. Lidinews.id
Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Tapi di negeri ini, peringatan itu tak lebih dari seremoni kosong. Di balik parade dan poster tuntutan, buruh tetap menjadi korban paling setia dari ketidakadilan sistemik yang dipelihara negara dan pasar.
Ilusi
Kemakmuran dalam Sistem yang Menindas
Tak ada mesin berjalan tanpa
buruh. Tak ada produksi tanpa tenaga kerja. Tapi siapa yang paling cepat
dilupakan dalam laporan tahunan perusahaan? Siapa yang tak disebut dalam narasi
sukses ekonomi nasional? Jawabannya jelas: buruh.
Kesejahteraan buruh hari ini
masih terjebak dalam ilusi. Mereka dipuji sebagai pahlawan pembangunan, namun
realitasnya mereka tetap bekerja dalam tekanan, hidup dalam ketidakpastian, dan
disingkirkan dalam pengambilan kebijakan. Upah minimum tidak menyesuaikan harga
pasar, jam kerja melampaui batas kemanusiaan, dan hak berserikat terus
direpresi secara halus maupun terang-terangan.
UU Cipta Kerja dan Melegalkan
Perbudakan Modern
Pengesahan UU Cipta Kerja adalah
puncak dari kemunduran perlindungan buruh. Pemerintah secara terang-terangan
berpihak pada investor, bukan rakyatnya. Buruh kini terancam hidup dalam sistem
kerja kontrak seumur hidup, pesangon dikurangi, dan outsourcing dilegalkan
tanpa batas.
Inikah bentuk penghargaan
terhadap "tulang punggung pembangunan"? Tidak. Ini adalah penghinaan
struktural terhadap nilai kemanusiaan buruh.
Negara yang Memihak Modal, Bukan
Rakyat
Fungsi negara semestinya
melindungi. Tapi dalam banyak kasus, negara justru menjadi kaki tangan modal.
Aparat digunakan bukan untuk melindungi demonstrasi buruh, tapi untuk
membungkamnya. Parlemen tidak menjadi wakil suara buruh, tapi corong elite
pemilik kepentingan.
Apa bedanya negara dan korporasi
kalau fungsi dasarnya adalah mengamankan laba, bukan menjamin keadilan?
Kebangkitan Gerakan Buruh Lokal
Perlawanan tidak hanya terjadi di
pusat. Justru di daerah-daerah, buruh mengalami penindasan lebih sunyi. Buruh
perkebunan, buruh tambang, buruh sektor informal—mereka semua bekerja tanpa
perlindungan hukum yang memadai.
Tapi dari sinilah kekuatan bisa
lahir. Gerakan buruh lokal harus bersatu, membangun kesadaran, dan menciptakan
jaringan perlawanan. Dari desa ke desa, dari kampus ke pabrik, dari ladang ke
parlemen.
Sejarah Indonesia tidak asing
dengan kekuatan rakyat kecil. Maka jangan remehkan suara-suara dari pinggiran.
1 Mei: Hari Perlawanan, Bukan
Sekadar Peringatan
Hari Buruh bukan untuk seremoni,
bukan sekadar panggung orasi. Ini adalah momen menyusun strategi, membangun
kekuatan, dan mempertegas posisi: buruh bukan objek, tapi subjek perubahan
sosial.
Ketika buruh bersatu, bukan hanya
pabrik yang bisa diguncang, tapi sistem yang menindas pun bisa diruntuhkan.
Jangan Diam!
Diam berarti tunduk. Diam berarti
setuju. Diam berarti pengkhianatan terhadap sesama pekerja yang masih berjuang
di tengah ketidakpastian.
Saat negara dan pasar terus
bersekongkol melucuti hak buruh, maka satu-satunya jalan adalah melawan. Bukan untuk
menciptakan kekacauan, tetapi untuk menegakkan kembali keadilan yang selama ini
diingkari.
Hari ini, 1 Mei, bukan hari libur biasa. Ini hari untuk menyatakan: buruh bukan budak!