terkini

Iklan Podcast

Fatmawati dan Konsep “Ibu Bangsa”

Lidinews
Jumat, 6/27/2025 02:34:00 PM WIB Last Updated 2025-06-27T07:34:02Z

Penulis : Dia Puspitasari, S.Sosio., M.Si.

Dosen Ilmu Komunikasi UNTAG Surabaya

Gambar : Penulis Fatmawati dan Konsep “Ibu Bangsa”


Lidinews.id - Fatmawati Soekarno, istri dari Proklamator dan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, memiliki peran krusial yang melekat dalam sejarah kemerdekaan bangsa. Ia dikenal luas sebagai penjahit pertama Bendera Merah Putih yang dikibarkan pada momen Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.


Pada masa menjelang kemerdekaan, Indonesia berada dalam tekanan Jepang, dan bahan untuk membuat bendera sangat sulit didapat. Dalam keterbatasan itu, Fatmawati menggunakan mesin jahit tangan dan kain yang berhasil ia peroleh untuk menjahit bendera berukuran sekitar 276 x 200 cm. Bendera itu dikibarkan di halaman rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, sesaat setelah pembacaan naskah proklamasi.


Pada Oktober 1944, dalam usia muda dan kehamilan besar, Fatmawati menerima kain merah-putih dari perwira Jepang sebagai simbol janji kemerdekaan. Ia menjahit bendera itu dengan tangan menggunakan mesin jahit manual karena alasan medis. Proses ini berlangsung emosional, dan bendera selesai dalam dua hari.


Bendera hasil jahitan Fatmawati untuk pertama kalinya dikibarkan saat pembacaan Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 oleh Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo atas aba-aba Soekarno. Bendera ini menjadi saksi perjuangan Revolusi dan kini disimpan sebagai warisan budaya di Monas.


Warna merah melambangkan keberanian dan darah (ibu), putih melambangkan kesucian dan jiwa (ayah). Tangisan Fatmawati mencerminkan peran spiritualnya dalam “melahirkan” simbol kemerdekaan. Fatmawati menjabat sebagai Ibu Negara pertama (1945–1967) dan diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 4 November 2000. Aksinya menjahit bendera menjadi simbol kuat atas kontribusi perempuan dalam mendirikan dan menjaga bangsa.


Peristiwa ini bukan sekadar penjahitan kain, melainkan simbol bahwa perempuan juga berperan langsung dalam menyiapkan tonggak sejarah bangsa. Bendera tersebut kemudian dikenal sebagai Bendera Pusaka, dan digunakan dalam upacara kemerdekaan setiap tahun hingga akhirnya kondisinya terlalu rapuh dan digantikan replika.


Konsep “Ibu Bangsa” bukanlah sekadar gelar kehormatan ia adalah cermin dari peran perempuan dalam membentuk identitas dan karakter sebuah bangsa. Lewat figur Fatmawati, julukan ini menemukan makna yang lebih bernyawa: bukan hanya penjahit bendera, tetapi penenun semangat kemerdekaan lewat keberanian, kasih sayang, dan keteladanan moral.


Fatmawati hadir bukan dalam narasi kepahlawanan yang lantang membentuk strategi perang, melainkan lewat keteguhan sikap di tengah badai politik dan peran domestik yang penuh tekanan. Ia menjahit Merah Putih dengan tangan sendiri, simbol konkret bahwa peran membangun bangsa tak selalu harus dilakukan dari panggung utama. Justru di ruang-ruang sunyi, dalam kerja-kerja yang sering tak terdokumentasi, moralitas bangsa dijaga.


Konsep “Ibu Bangsa” melalui Fatmawati bukanlah glorifikasi terhadap posisi istri pemimpin semata, tetapi sebuah pengakuan bahwa kasih sayang tak identik dengan kelemahan. Ia menjadi inspirasi moral di masa awal republik, menampilkan wajah Indonesia yang humanis berani namun penuh cinta, tegas tapi merangkul.


Dalam konteks mengisi kemerdekaan, figur seperti Fatmawati mengingatkan kita bahwa membangun bangsa bukan sekadar soal kekuasaan, tapi juga soal nilai. Dan nilaikali dijaga oleh mereka yang berdiri di antara harapan dan pengorbanan, seperti halnya seorang ibu bagi anaknya teguh tanpa pamrih.



*Ibu Fatmawati dan Bendera: Jejak Emosional Konsep “Ibu Bangsa”*


Konsep "Ibu Bangsa" bukanlah sekadar gelar simbolik dalam lanskap nasionalisme Indonesia. Ia menyiratkan peran seorang perempuan yang bukan hanya hadir sebagai istri atau pendamping, tetapi sebagai sosok aktif dalam perjuangan membentuk identitas bangsa, baik secara simbolik maupun nyata. Dalam konteks ini, Ibu Fatmawati Soekarno adalah figur sentral yang memberi makna konkret pada istilah tersebut.


Ibu Fatmawati tidak hanya dikenal sebagai istri Presiden Soekarno, tetapi juga sebagai perempuan yang menjahit sendiri Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945. Aksi ini bukanlah tindakan domestik biasa, melainkan pernyataan politik yang kuat. Di tengah kekacauan menjelang proklamasi kemerdekaan, menjahit bendera bukan sekadar tugas teknis, tetapi simbol pengabdian dan keyakinan akan lahirnya sebuah negara merdeka.


Mengapa ini penting? Karena dalam sejarah yang kerap ditulis dari sudut pandang laki-laki dan militer, kontribusi perempuan sering kali tersamarkan. Ibu Fatmawati merepresentasikan bagaimana peran perempuan bisa mewujud secara subtil namun monumental. Benang demi benang bendera itu menjadi perwujudan harapan, keberanian, dan tekad perempuan Indonesia terhadap masa depan bangsanya.


Dalam konteks ini, layak kiranya kita mempertimbangkan kembali makna dari *Ibu Bangsa*. Ia bukan hanya tentang garis keturunan atau peran biologis sebagai ibu, melainkan tentang kontribusi intelektual, emosional, dan ideologis terhadap kelahiran dan pertumbuhan bangsa. Fatmawati adalah simbol bahwa nasionalisme bisa dijahit dengan cinta, bukan hanya ditempa dengan senjata.


Di tengah perdebatan kontemporer soal representasi dan peran gender dalam pembangunan bangsa, sosok seperti Ibu Fatmawati seharusnya kembali diangkat sebagai inspirasi. Ia memberi kita alasan untuk percaya bahwa dalam setiap langkah sejarah besar, ada tangan-tangan perempuan yang bekerja dalam diam namun berdampak besar.



*“Ibu Bangsa”: Julukan yang Mesti Diresapi Ulang*


Julukan “Ibu Bangsa” kerap disematkan kepada tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah perjuangan Indonesia. Namun, terlalu sering gelar ini hanya terdengar simbolis, seperti gelar kehormatan yang terkesan pasif dan seolah para perempuan pejuang hanya “mendampingi” dari balik layar. Padahal, sejarah mencatat jejak nyata perempuan Indonesia yang tidak hanya berada di sisi, tetapi berdiri di garis depan perjuangan kemerdekaan.


Perempuan seperti Fatmawati Soekarno, bukan hanya istri Proklamator. Dialah penjahit Sang Saka Merah Putih, simbol utama kebangkitan bangsa. Namun jasanya kerap direduksi menjadi narasi domestik belaka. Demikian pula dengan Cut Nyak Dhien, yang memimpin perang melawan Belanda di Aceh, atau Maria Walanda Maramis yang mendobrak batas pendidikan dan politik bagi perempuan pada awal abad ke-20.


Julukan “Ibu Bangsa” seharusnya tidak menempatkan perempuan sebagai figur keibuan semata, melainkan sebagai subjek sejarah yang aktif dan menentukan. Ketika kita menyebut tokoh seperti Hatta, Soekarno, atau Sjahrir sebagai “Bapak Bangsa,” kita mengacu pada kontribusi konkret mereka dalam merumuskan arah bangsa. Maka sudah seharusnya “Ibu Bangsa” pun memiliki bobot makna yang setara: pemikir, pejuang, penentu masa depan.


Lebih jauh lagi, menyematkan gelar ini secara sembarangan tanpa membongkar narasi patriarkis yang masih kuat berakar bisa jadi malah memperlemah maknanya. Perempuan bukan sekadar pelengkap. Mereka adalah bagian integral dari fondasi republik ini. Mengangkat mereka bukan hanya soal representasi, tetapi soal keadilan sejarah.


Maka, mari kita resapi ulang makna “Ibu Bangsa.” Bukan hanya sebagai lambang kasih atau kesetiaan, tetapi sebagai pengakuan akan keteguhan, keberanian, dan andil nyata perempuan dalam berdirinya bangsa Indonesia.



Editor : Bung Arjun Munthe

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Fatmawati dan Konsep “Ibu Bangsa”

Iklan