terkini

Iklan Podcast

Marhaenis Sejati Tidak Netral Dalam Penindasan

Lidinews
Senin, 6/30/2025 12:16:00 PM WIB Last Updated 2025-06-30T05:16:33Z

 Penulis : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe

Kader Pelopor GMNI Tanah Karo

Gambar : Marhaenis Sejati Tidak Netral Dalam Penindasan. Lidinews.id


Lidinews.id - Saat sejarah kembali memanggil, dan langit Juli 2025 bersiap menjadi saksi Kongres GMNI se-Indonesia, izinkan saya menyampaikan suara hati, jerit nurani, dan letupan idealisme yang masih menyala di dada saya sebagai seorang Kader Pelopor GMNI.

 

Tema besar Kongres kali ini, "Bersatu, Lawan Penjajahan Gaya Baru" bukan sekadar slogan rapat atau narasi pengantar acara. Ini adalah pengingat keras bagi kita semua bahwa medan juang tidak pernah kosong.

 

Musuh-musuh rakyat hari ini mungkin tak lagi membawa bedil, tapi mereka hadir dalam bentuk yang lebih halus: utang luar negeri, investasi yang menindas, eksploitasi digital, dan perampokan sumber daya alam oleh kekuatan korporasi global. Inilah wajah penjajahan masa kini. Dan tugas kita sebagai Marhaenis sejati adalah membacanya dengan tajam, melawannya dengan gagah, dan memimpinnya dengan cerdas.

 

MARHAENISME! BUKAN HANYA PEGANGAN, TAPI JALAN HIDUP

Menjadi kader GMNI berarti menjadikan Marhaenisme bukan hanya teori yang dihapal saat Masa Penerimaan Anggota Baru. Marhaenisme adalah kompas ideologis, sikap hidup, dan pedoman perjuangan. Namun hari ini, mari kita jujur, banyak dari kita terjebak dalam rutinitas organisasi tanpa ruh ideologis.

 

Kita bangga memakai seragam merah, berfoto dengan tangan terkepal, tetapi lupa bahwa perjuangan sejati tak berhenti di simbol. Kita terlalu sibuk meributkan forum-forum internal, tapi diam saat rakyat miskin tergusur, saat petani kehilangan tanahnya, saat nelayan tak lagi bisa melaut, atau saat mahasiswa dikomersialisasi.

 

Apakah ini wajah GMNI yang kita warisi dari Soekarno? Apakah kita mewarisi api atau hanya abunya?

 

TANTANGAN HARI INI ADALAH PENJAJAHAN GAYA BARU DAN MENTAL KADER YANG MANDEK

Penjajahan gaya baru hadir dalam banyak rupa, seperti perjanjian perdagangan yang timpang, ketergantungan pada teknologi asing, subordinasi budaya, bahkan dalam kampus-kampus yang dikepung neoliberalisme. Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika sebagian dari kita justru mulai nyaman dalam sistem yang menindas ini. Kita lupa bahwa kader GMNI seharusnya tidak pernah netral dalam penindasan.

 

Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, banyak komisariat hari ini lebih sibuk memburu eksistensi sosial daripada membangun basis massa. Debat ideologis diganti dengan lomba caption di Instagram. Diskusi kerakyatan dikalahkan oleh obrolan tentang karier pribadi. Di titik ini, saya ingin menggugah, Apa sebenarnya cita-cita kita menjadi kader GMNI?

 

SEBAGAI MARHAENIS BUKAN HANYA JULUKAN, TAPI TANGGUNG JAWAB

Menjadi Kader Marhaenis bukan sekadar label keren. Kader Marhaenis adalah tanggung jawab sejarah. Kader Marhaenis adalah panggilan untuk menjadi garda depan ideologis di tengah krisis nilai. Seorang Kader Marhaenis harus berani mengintervensi kenyataan, memimpin gerakan, menyalakan cahaya dalam kegelapan apatisme.

 

Hari ini kita membutuhkan lebih banyak kader yang membaca situasi sosial dengan perspektif kelas, bukan popularitas. Kita perlu kader yang rela turun ke jalan, ke kampung nelayan, ke sawah petani, ke pabrik buru,  bukan hanya turun ke kafe dengan hoodie merah.

 

Kader GMNI yang sejati harus mampu mengorganisasi, mengagitasi, dan mendidik. Selain itu, harus menguasai dialektika, ekonomi politik, sejarah perjuangan rakyat, sekaligus piawai menggunakan media sebagai alat propaganda. Karena perang hari ini bukan hanya di jalanan, tapi juga di ruang digital.

 

KONGRES GMNI XXII, MOMENTUM ATAU PANGGUNG RETORIKA?

Kongres bukan sekadar seremoni rutin. Ia adalah prahara intelektual tempat kita menimbang masa depan organisasi ini. Jika Kongres kali ini hanya menjadi ajang rebutan jabatan dan penuh manuver politik internal, maka sia-sialah semua darah, peluh, dan air mata para senior yang dulu memanggul panji Marhaenisme.

 

Sebaliknya, mari jadikan Kongres kali ini sebagai ledakan kesadaran kolektif. Mari koreksi secara radikal arah gerakan kita. Mari rumuskan strategi baru melawan penjajahan gaya baru: dari kampus hingga kampung, dari parlemen hingga pabrik, dari media hingga medan aksi.

 

Kita harus menjawab, bagaimana GMNI menjawab isu krisis pangan? Energi hijau? Digitalisasi yang eksploitatif? Kesenjangan sosial? Polarisasi politik? Apakah kita punya sikap ideologis yang jelas? Ataukah kita hanya ikut arus?

 

MENYALAKAN API, MEMIMPIN PERUBAHAN

Saya menulis ini bukan sebagai orang suci. Saya juga sedang belajar. Tapi saya menolak menjadi kader yang diam dalam ketimpangan, atau terperangkap dalam kemapanan organisasi.

 

Saya ingin menjadi kader yang berpikir keras, membaca realitas dengan jeli, dan bertindak secara taktis. Saya ingin menjadi bagian dari GMNI yang militan, progresif, dan ideologis, bukan GMNI yang hanya sibuk mencari posisi di panggung birokrasi.

 

GMNI harus kembali menjadi rumah bagi intelektual organik, bukan sekadar organisasi formal. Ia harus menjadi sekolah politik rakyat, bukan sekadar komunitas nostalgia. Dan sebagai Kader Pelopor, saya ingin mengajak seluruh GMNI se-Indonesia:

-          Mari kita hidupkan kembali Marhaenisme sebagai ideologi praksis.

-          Mari kita bangun barisan perlawanan terhadap penjajahan gaya baru.

-          Mari kita jadikan organisasi ini alat pembebasan rakyat — bukan alat promosi diri.

 

DARI MARHAEN, OLEH MARHAEN, UNTUK MARHAEN

GMNI lahir dari rahim sejarah yang panas, bukan dari kenyamanan. GMNI adalah anak kandung dari semangat rakyat yang tertindas. Maka jangan kita kotori dengan apatisme, egoisme, atau pragmatisme.

 

Saat rakyat kembali dijajah dalam bentuk baru, kita Kader GMNI harus kembali menjadi ujung tombak perlawanan. Bukan untuk kekuasaan, tapi demi keadilan.

 

Jika kamu kader yang masih punya nyali, masih punya hati, dan masih punya akal sehat, maka ini waktunya bangkit. Berdirilah tegak. Kepalkan tanganmu. Jangan hanya menjadi penonton sejarah. Karena sejarah akan menilai kita bukan dari berapa banyak orasi kita, tapi dari seberapa dalam kita mencintai rakyat dan seberapa keras kita melawan ketidakadilan.

“Bersatu! Lawan Penjajahan Gaya Baru!”

“Hidup Marhaenisme!”

“Hidup Rakyat!”


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Marhaenis Sejati Tidak Netral Dalam Penindasan

Iklan