Kader Pelopor GMNI Tanah Karo
Gambar : Marhaenis Sejati Tidak Netral Dalam Penindasan. Lidinews.id
Lidinews.id - Saat sejarah kembali memanggil, dan langit Juli 2025 bersiap menjadi saksi Kongres GMNI se-Indonesia, izinkan saya menyampaikan suara hati, jerit nurani, dan letupan idealisme yang masih menyala di dada saya sebagai seorang Kader Pelopor GMNI.
Tema besar Kongres kali ini, "Bersatu,
Lawan Penjajahan Gaya Baru" bukan sekadar slogan rapat atau narasi
pengantar acara. Ini adalah pengingat keras bagi kita semua bahwa medan juang
tidak pernah kosong.
Musuh-musuh rakyat hari ini
mungkin tak lagi membawa bedil, tapi mereka hadir dalam bentuk yang lebih
halus: utang luar negeri, investasi yang menindas, eksploitasi digital, dan
perampokan sumber daya alam oleh kekuatan korporasi global. Inilah wajah
penjajahan masa kini. Dan tugas kita sebagai Marhaenis sejati adalah membacanya
dengan tajam, melawannya dengan gagah, dan memimpinnya dengan cerdas.
MARHAENISME!
BUKAN HANYA PEGANGAN, TAPI JALAN HIDUP
Menjadi kader GMNI berarti
menjadikan Marhaenisme bukan hanya teori yang dihapal saat Masa Penerimaan
Anggota Baru. Marhaenisme adalah kompas ideologis, sikap hidup, dan pedoman
perjuangan. Namun hari ini, mari kita jujur, banyak dari kita terjebak dalam
rutinitas organisasi tanpa ruh ideologis.
Kita bangga memakai seragam
merah, berfoto dengan tangan terkepal, tetapi lupa bahwa perjuangan sejati tak
berhenti di simbol. Kita terlalu sibuk meributkan forum-forum internal, tapi
diam saat rakyat miskin tergusur, saat petani kehilangan tanahnya, saat nelayan
tak lagi bisa melaut, atau saat mahasiswa dikomersialisasi.
Apakah ini wajah GMNI yang kita
warisi dari Soekarno? Apakah kita mewarisi api atau hanya abunya?
TANTANGAN HARI
INI ADALAH PENJAJAHAN GAYA BARU DAN MENTAL KADER YANG MANDEK
Penjajahan gaya baru hadir dalam
banyak rupa, seperti perjanjian perdagangan yang timpang, ketergantungan pada
teknologi asing, subordinasi budaya, bahkan dalam kampus-kampus yang dikepung neoliberalisme.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika sebagian dari kita justru mulai nyaman
dalam sistem yang menindas ini. Kita lupa bahwa kader GMNI seharusnya tidak
pernah netral dalam penindasan.
Saya menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, banyak komisariat hari ini lebih sibuk memburu eksistensi
sosial daripada membangun basis massa. Debat ideologis diganti dengan lomba
caption di Instagram. Diskusi kerakyatan dikalahkan oleh obrolan tentang karier
pribadi. Di titik ini, saya ingin menggugah, Apa sebenarnya cita-cita kita
menjadi kader GMNI?
SEBAGAI
MARHAENIS BUKAN HANYA JULUKAN, TAPI TANGGUNG JAWAB
Menjadi Kader Marhaenis bukan
sekadar label keren. Kader Marhaenis adalah tanggung jawab sejarah. Kader
Marhaenis adalah panggilan untuk menjadi garda depan ideologis di tengah krisis
nilai. Seorang Kader Marhaenis harus berani mengintervensi kenyataan, memimpin
gerakan, menyalakan cahaya dalam kegelapan apatisme.
Hari ini kita membutuhkan lebih
banyak kader yang membaca situasi sosial dengan perspektif kelas, bukan
popularitas. Kita perlu kader yang rela turun ke jalan, ke kampung nelayan, ke
sawah petani, ke pabrik buru, bukan
hanya turun ke kafe dengan hoodie merah.
Kader GMNI yang sejati harus
mampu mengorganisasi, mengagitasi, dan mendidik. Selain itu, harus menguasai
dialektika, ekonomi politik, sejarah perjuangan rakyat, sekaligus piawai
menggunakan media sebagai alat propaganda. Karena perang hari ini bukan hanya
di jalanan, tapi juga di ruang digital.
KONGRES GMNI
XXII, MOMENTUM ATAU PANGGUNG RETORIKA?
Kongres bukan sekadar seremoni
rutin. Ia adalah prahara intelektual tempat kita menimbang masa depan
organisasi ini. Jika Kongres kali ini hanya menjadi ajang rebutan jabatan dan
penuh manuver politik internal, maka sia-sialah semua darah, peluh, dan air
mata para senior yang dulu memanggul panji Marhaenisme.
Sebaliknya, mari jadikan Kongres
kali ini sebagai ledakan kesadaran kolektif. Mari koreksi secara radikal
arah gerakan kita. Mari rumuskan strategi baru melawan penjajahan gaya baru:
dari kampus hingga kampung, dari parlemen hingga pabrik, dari media hingga
medan aksi.
Kita harus menjawab, bagaimana
GMNI menjawab isu krisis pangan? Energi hijau? Digitalisasi yang eksploitatif?
Kesenjangan sosial? Polarisasi politik? Apakah kita punya sikap ideologis yang
jelas? Ataukah kita hanya ikut arus?
MENYALAKAN API,
MEMIMPIN PERUBAHAN
Saya menulis ini bukan sebagai
orang suci. Saya juga sedang belajar. Tapi saya menolak menjadi kader yang diam
dalam ketimpangan, atau terperangkap dalam kemapanan organisasi.
Saya ingin menjadi kader yang
berpikir keras, membaca realitas dengan jeli, dan bertindak secara taktis. Saya
ingin menjadi bagian dari GMNI yang militan, progresif, dan ideologis, bukan
GMNI yang hanya sibuk mencari posisi di panggung birokrasi.
GMNI harus kembali menjadi rumah
bagi intelektual organik, bukan sekadar organisasi formal. Ia harus menjadi
sekolah politik rakyat, bukan sekadar komunitas nostalgia. Dan sebagai Kader
Pelopor, saya ingin mengajak seluruh GMNI se-Indonesia:
-
Mari kita hidupkan kembali Marhaenisme sebagai
ideologi praksis.
-
Mari kita bangun barisan perlawanan terhadap
penjajahan gaya baru.
-
Mari kita jadikan organisasi ini alat pembebasan
rakyat — bukan alat promosi diri.
DARI MARHAEN,
OLEH MARHAEN, UNTUK MARHAEN
GMNI lahir dari rahim sejarah
yang panas, bukan dari kenyamanan. GMNI adalah anak kandung dari semangat
rakyat yang tertindas. Maka jangan kita kotori dengan apatisme, egoisme, atau
pragmatisme.
Saat rakyat kembali dijajah dalam
bentuk baru, kita Kader GMNI harus kembali menjadi ujung tombak perlawanan.
Bukan untuk kekuasaan, tapi demi keadilan.
Jika kamu kader yang masih punya
nyali, masih punya hati, dan masih punya akal sehat, maka ini waktunya bangkit.
Berdirilah tegak. Kepalkan tanganmu. Jangan hanya menjadi penonton sejarah. Karena
sejarah akan menilai kita bukan dari berapa banyak orasi kita, tapi dari
seberapa dalam kita mencintai rakyat dan seberapa keras kita melawan
ketidakadilan.
“Bersatu! Lawan Penjajahan Gaya
Baru!”
“Hidup Marhaenisme!”
“Hidup Rakyat!”