Tragedi kecelakaan yang melibatkan Cristiano Tarigan di Yogyakarta memunculkan kembali pertanyaan tentang keadilan hukum bagi pelaku muda dalam insiden lalu lintas. Secara mendalam kasus Cristiano dengan membandingkannya dengan peristiwa serupa yang pernah melibatkan Rasyid Rajasa dan Abdul Qodir Jaelani (Dul).
Tragedi yang Mengguncang Nurani
Pagi buta 24 Mei 2025 menjadi
saksi bisu sebuah tragedi yang mengejutkan masyarakat Yogyakarta. Di Jalan
Palagan Tentara Pelajar, Sleman, Cristiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan,
seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), tanpa sengaja menabrak Argo
Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum UGM.
Nyawa Argo tak tertolong.
Kejadian ini dengan cepat menyebar ke berbagai kanal media, membangkitkan
gelombang empati dan kemarahan publik. Namun, dalam menanggapi kasus ini,
adakah ruang bagi kita untuk merenungkan keadilan yang seimbang?
Dalam konteks hukum dan
moralitas, Cristiano kini berada dalam pusaran sorotan, antara tanggung jawab,
penyesalan, dan realitas hukum yang pernah berlaku pada kasus-kasus serupa
sebelumnya.
Kronologi Kecelakaan
Kejadian bermula sekitar pukul
03.45 WIB. Cristiano, yang diketahui dalam kondisi sadar dan tidak dipengaruhi
alkohol maupun narkoba, mengendarai mobil BMW di kawasan tersebut. Argo, yang
saat itu sedang berjalan kaki di pinggir jalan, tertabrak dan meninggal di
tempat.
Cristiano tidak kabur. Ia justru
berteriak meminta bantuan warga, dalam kondisi panik dan trauma berat. Saat
ditangkap, ia langsung ditahan oleh kepolisian Polresta Sleman, ditetapkan
sebagai tersangka, dan kini tengah menjalani proses hukum.
Orang tuanya, Setia Budi Tarigan,
pejabat eksekutif di FIF Group (Astra), menyampaikan permintaan maaf publik,
mengurus pemakaman korban, serta menyatakan komitmennya untuk mengikuti proses
hukum secara terbuka.
Cermin dari Masa Lalu - Kasus
Rasyid Rajasa
Pada 1 Januari 2013, Rasyid
Amrullah Rajasa, putra dari Hatta Rajasa (mantan Menteri Koordinator
Perekonomian), mengalami kecelakaan di Tol Jagorawi. Mobil BMW X5 yang
dikemudikannya menabrak Daihatsu Luxio. Dua orang meninggal dunia: seorang pria
berusia 57 tahun dan balita berusia 14 bulan.
Rasyid saat itu tidak dalam
pengaruh alkohol atau obat-obatan. Namun, ia dalam kondisi mengantuk setelah
perayaan tahun baru. Meskipun menjadi tersangka dan terancam hukuman hingga 6
tahun penjara, Rasyid tidak ditahan. Alasannya: pihak keluarga menjadi
penjamin, dan tidak ada unsur kesengajaan dalam kejadian itu.
Respons publik cukup keras, namun
negara menekankan pendekatan humanis dalam menimbang usia, kondisi pelaku, dan
langkah pertanggungjawaban yang telah dilakukan.
Pelajaran dari Kasus Abdul Qodir
Jaelani (Dul)
Delapan bulan setelah kasus
Rasyid, tragedi lain menimpa Abdul Qodir Jaelani alias Dul, putra musisi Ahmad
Dhani. Pada 8 September 2013, Dul yang saat itu baru berusia 13 tahun, menyetir
tanpa SIM dan mengalami kecelakaan fatal di Tol Jagorawi. Tujuh orang tewas,
beberapa lainnya luka berat.
Media mengkritik keras, menilai
Dul sebagai penyebab utama kecelakaan. Namun polisi menetapkan bahwa karena
usianya masih di bawah umur, Dul tidak bisa ditahan. Ia dikenai hukuman
percobaan dua tahun. Ahmad Dhani dan keluarga juga memberikan santunan dan
bantuan kepada keluarga korban, termasuk biaya pendidikan.
Meski banyak yang menuntut
keadilan, penyelesaian ini dianggap sah secara hukum, karena sistem pidana anak
di Indonesia memang memberikan ruang pendekatan restoratif.
Cristiano dalam Perspektif yang
Sama
Berbeda dengan Dul yang masih di
bawah umur, dan Rasyid yang berasal dari lingkungan politik, Cristiano adalah
mahasiswa aktif yang sedang menjalani pendidikannya. Ia tidak ugal-ugalan,
tidak sedang dalam pengaruh zat terlarang, dan tidak mencoba melarikan diri.
Fakta-fakta ini seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam proses hukum.
Cristiano mengalami trauma berat,
menunjukkan rasa bersalah, dan keluarganya langsung bersikap terbuka untuk
bertanggung jawab. Jika dalam dua kasus sebelumnya negara mengambil pendekatan
yang tidak semata-mata represif, maka keadilan yang proporsional seyogianya
juga diberikan pada Cristiano.
Menimbang Keadilan Substantif
Hukum bukan hanya soal menghukum.
Ia juga tentang mendidik, memulihkan, dan menegakkan rasa keadilan publik.
Cristiano bukanlah kriminal, melainkan anak muda yang mengalami musibah tragis.
Apakah kita harus menghukum seseorang semata untuk memuaskan amarah publik? Ataukah
kita lebih bijak menempuh jalur restoratif yang mendidik dan menyembuhkan?
Dalam banyak kasus di dunia,
termasuk Indonesia, pendekatan keadilan restoratif mulai diutamakan, terutama
untuk pelaku yang:
- Tidak memiliki niat jahat (dolus);
- Menunjukkan penyesalan dan tanggung jawab;
- Siap memulihkan korban atau keluarga korban secara adil.
Mendorong Keadilan yang Setara
Keadilan bukan tentang siapa
kamu, melainkan bagaimana kamu bertanggung jawab. Jika Dul dan Rasyid diberi
ruang untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan tanpa harus meringkuk dalam
penjara, maka perlakuan setara adalah bentuk dari keadilan yang sejati.
Dalam konteks ini, Cristiano
seharusnya diberi kesempatan yang sama: menjalani proses hukum secara terbuka,
tetapi tidak dengan pendekatan yang menghukumnya seperti kriminal kelas berat.
Ia adalah mahasiswa, seorang anak muda yang masih bisa diarahkan, dibina, dan
diberi tanggung jawab sosial yang konstruktif.
Ruang untuk Harapan dan Perubahan
Tragedi ini harus menjadi
pelajaran bagi kita semua: tentang pentingnya kehati-hatian di jalan, empati
dalam menilai, dan bijak dalam menegakkan hukum. Cristiano Tarigan harus tetap
bertanggung jawab, tetapi juga layak mendapatkan keadilan yang manusiawi,
seimbang, dan tidak diskriminatif.
Karena dalam setiap tragedi,
selalu ada ruang untuk penyembuhan—bukan hanya untuk korban, tetapi juga untuk
pelaku yang ingin memperbaiki diri.
Penulis: Arjuna H T Munthe