Jakarta, Lidinews.id - Di tengah
hiruk-pikuk zaman, ketika pencitraan menjadi komoditas dan setiap tindakan
seolah harus dicatat serta disiarkan demi pengakuan publik, masih ada
orang-orang yang memilih jalan sebaliknya. Mereka berjalan tenang, membantu
tanpa riuh, memberi tanpa sorotan, dan membangun tanpa menuntut tepuk tangan.
Setia Budi Tarigan adalah salah
satu dari sedikit manusia seperti itu. Ia bukan politisi, bukan pula tokoh
agama, dan tidak pula aktivis sosial yang saban hari tampil di layar kaca.
Namun namanya disebut dengan penuh hormat dari mulut ke mulut, dari desa-desa
kecil di Sumatera hingga pelosok yang mengenalnya lewat jejak yang ia
tinggalkan.
Setia Budi Tarigan dikenal
sebagai seorang pengusaha. Ia adalah Direktur Operasional di sebuah perusahaan
transportasi pariwisata yang melayani rute-rute lintas Sumatera hingga ke Pulau
Jawa. Di atas kertas, ia tampak seperti pebisnis biasa: sibuk, strategis, dan
logis. Tapi bagi banyak orang, terutama mereka yang pernah disentuh oleh
kemurahannya, Budi Tarigan bukan sekadar pengusaha—ia adalah figur ayah,
sahabat, dan pelindung yang hadir saat banyak orang sedang kehilangan harapan.
Membangun Tanpa Sorotan
Salah satu bukti konkret dari
kemurahan hati Budi Tarigan adalah partisipasinya dalam pembangunan dua unit
rumah bagi penyandang disabilitas di bawah naungan Yayasan Kesejahteraan
Penyandang Disabilitas (YKPD) GBKP Alpha Omega, yang berlokasi di Desa Simpang
Lingga, Kabanjahe, Kabupaten Karo.
Tidak banyak yang tahu tentang
pembangunan rumah ini. Tidak ada seremoni peresmian besar-besaran, tidak ada liputan
media, tidak pula baliho yang memampang wajah sang dermawan. Rumah-rumah itu
dibangun dalam senyap, dan yang penting baginya hanyalah bahwa mereka yang
membutuhkan punya tempat berteduh yang layak.
"Beliau tidak pernah ingin
disebut atau diliput," ujar seorang pengurus yayasan yang tidak ingin
namanya disebut. “Pak Budi hanya bilang: kalau rumah ini bisa membantu
adik-adik di sini agar hidup lebih tenang, saya bahagia.”
Kebahagiaannya, tampaknya, bukan
berasal dari pujian, melainkan dari keyakinan bahwa apa yang ia lakukan membawa
manfaat langsung. Dalam dunia yang sering kali mengukur nilai dengan sorotan
kamera, Budi Tarigan justru merasa tenang saat kebaikannya tidak diketahui
banyak orang.
Dukungannya Terhadap Gereja dan
Nilai-Nilai Lintas Iman
Di luar sumbangan fisik, Budi
Tarigan juga dikenal luas di lingkungan gereja-gereja, khususnya di wilayah
lintas Sumatera dan Jawa. Sering kali, ia menjadi donatur tetap untuk
kegiatan-kegiatan gereja, baik yang berhubungan dengan pembinaan iman, kegiatan
pemuda, maupun pelayanan sosial.
Ia tidak membatasi dukungannya
pada satu denominasi. Ketika suatu gereja kecil di kota kecil hendak mengadakan
perkemahan rohani dan kekurangan biaya transportasi, Budi Tarigan menyumbangkan
armada bus dengan harga diskon atau, tak jarang, secara cuma-cuma.
“Pak Budi paham betul, bahwa
pembentukan karakter anak muda penting,” ujar seorang pendeta muda dari Medan.
“Dia tidak hanya bantu dana. Dia ikut berpikir, kadang duduk bersama panitia,
bahkan menyarankan program yang bisa dijalankan di tempat-tempat wisata
rohani.”
Apa yang ia lakukan tidak sekadar
mencerminkan kedermawanan. Ia hadir, ia peduli, dan ia menganggap setiap
program sosial dan keagamaan sebagai investasi jangka panjang terhadap masa
depan masyarakat.
Kepedulian Terhadap Pemuda dan
Kesempatan Kerja
Tak terhitung sudah berapa banyak
pemuda yang mengaku mendapatkan pekerjaan atau kesempatan berkarier karena
bantuan dari Budi Tarigan. Ia membuka peluang di perusahaan miliknya untuk
anak-anak muda dari keluarga tidak mampu, dari lulusan SMA hingga mereka yang
baru saja keluar dari bangku kuliah.
Tidak semua langsung
dipekerjakan. Beberapa ia bantu dengan pelatihan, menghubungkan mereka dengan
mitra usahanya di bidang pariwisata, jasa transportasi, bahkan UMKM.
Salah seorang pemuda dari kawasan
Tigapanah menyampaikan kisahnya. Ia sempat menganggur selama dua tahun setelah
lulus sekolah kejuruan. Setelah dikenalkan oleh seorang kerabat kepada Budi
Tarigan, ia diajak magang selama tiga bulan, kemudian diangkat menjadi staf tetap
bagian teknis. "Kalau bukan karena Pak Budi, mungkin saya sudah menyerah.
Dia bukan hanya beri saya pekerjaan, tapi juga semangat,” tuturnya.
Kisah serupa juga ditemukan dari
beberapa daerah lain di Karo. Dari anak sopir angkot yang kini bekerja sebagai
admin logistik, hingga anak petani yang dilatih menjadi mekanik, semua mereka
mengaku, pintu kehidupan baru mereka dibuka oleh tangan Budi Tarigan.
Berbagi dalam Senyap di Momen
Hari Raya
Sudah menjadi kebiasaan keluarga
Setia Budi Tarigan untuk berbagi sembako menjelang hari besar keagamaan.
Seminggu sebelum Natal dan Idul Fitri, sejumlah keluarga kurang mampu di
lingkungan tempat tinggalnya menerima paket sembako yang dibagikan oleh
anak-anaknya sendiri. Tidak ada kamera. Tidak ada foto viral di media sosial.
Yang ada hanyalah raut syukur dan mata berkaca dari para penerima.
Ketua RT setempat mengaku setiap
tahun menyiapkan daftar warga yang benar-benar membutuhkan, lalu menyerahkannya
kepada keluarga Budi Tarigan. "Beliau tidak mau sembarangan. Dia mau yang
benar-benar membutuhkan. Dan yang membagikan adalah anak-anaknya. Dia bilang,
biar mereka belajar merasakan langsung apa itu berbagi."
Budi Tarigan, dengan cara itu,
tidak hanya memberi bantuan. Ia juga mendidik. Ia mengajarkan nilai empati dan
kesetaraan secara nyata kepada generasi berikutnya—bukan lewat ceramah, tapi
lewat pengalaman langsung.
Menjadi Penopang Saat Orang Lain
Tumbang
Dalam beberapa peristiwa bencana
lokal—baik kebakaran, banjir, atau longsor kecil yang tidak sempat terpantau
media besar—Budi Tarigan sering kali hadir lebih dulu daripada pemerintah. Ia
mengirim logistik, membantu membangun kembali rumah yang roboh, bahkan
menyediakan transportasi bagi keluarga yang harus dievakuasi.
Yang mengejutkan, ia sering
melakukannya tanpa menyebut nama. Pernah dalam satu peristiwa, warga hanya tahu
bahwa bantuan datang dari "donatur tak dikenal." Belakangan,
diketahui bahwa bantuan itu berasal dari Budi Tarigan.
Mengapa semua ini tidak pernah ia umumkan?
Karena bagi Budi Tarigan,
kebaikan tidak perlu diumumkan. Ia percaya bahwa Tuhan mencatat, bahkan ketika
manusia tidak melihat. “Bagi saya, cukup satu orang saja yang tahu bahwa saya
menolongnya, dan itu adalah dia yang saya tolong,” begitu kata Budi dalam satu
kesempatan.
Kebaikan yang Menular dan
Mengakar
Karena keteladanannya, banyak
orang di lingkaran terdekatnya ikut terdorong untuk berbuat hal serupa.
Beberapa karyawan perusahaannya kini membuat komunitas kecil untuk membantu
sesama, memberikan pelatihan kerja, atau mengumpulkan donasi untuk pendidikan
anak-anak yang putus sekolah. Salah satu mantan sopirnya kini menjadi relawan
tetap di sebuah panti asuhan. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab: “Karena saya
belajar dari Pak Budi. Saya ingin jadi orang baik juga.”
Kebaikan, tampaknya, menular.
Tapi hanya jika dimulai oleh mereka yang melakukannya dengan tulus dan
konsisten. Dan dalam konteks ini, Budi Tarigan bukan hanya telah menularkan
kebaikan, ia telah menanamkannya hingga mengakar dalam kehidupan orang-orang
sekitarnya.
Menghindari Sorotan, Memilih
Kedalaman
Dalam setiap tindakannya, Budi
Tarigan seolah menolak jadi tokoh. Ia tidak pernah hadir di seminar-seminar
sosial, tidak membuat yayasan atas nama sendiri, tidak membuat kanal YouTube atau
media sosial untuk menyiarkan aktivitas sosialnya. Ia tetap seorang warga
biasa, bekerja dalam kesederhanaan, memberi dengan kebijaksanaan.
Ia bukan tokoh yang bicara
tentang perubahan sosial di panggung besar. Tapi ia adalah tokoh yang
menjalankan perubahan itu dari dapur ke dapur, dari desa ke desa, dari satu
orang ke satu orang.
“Kalau semua orang mau dikenal
karena kebaikannya, siapa yang akan berbuat kebaikan dalam diam?” katanya suatu
waktu dalam percakapan santai. Kalimat itu menggambarkan filosofi hidupnya
dengan sangat tepat.
Setia Budi Tarigan telah memberi
contoh, bahwa dalam dunia yang serba bising ini, masih ada ruang untuk
ketulusan yang tidak haus panggung. Ia hadir sebagai sosok yang menunjukkan
bahwa kekayaan bukan diukur dari apa yang ditumpuk, melainkan dari apa yang
dibagi. Bahwa kehormatan tidak tumbuh dari sanjungan, tapi dari pengakuan
diam-diam oleh mereka yang hidupnya telah ia sentuh.
Ia bukan seorang tokoh besar
dalam sejarah nasional. Namun bagi banyak orang kecil yang ia bantu, Setia Budi
Tarigan telah menulis sejarah kecil yang berarti dalam hidup mereka. Dan
barangkali, dalam dunia yang terlalu sibuk untuk mendengarkan suara hati, sosok
seperti dia adalah suara yang perlu kita dengar lebih sering.
Reporter :
Arjuna H T Munthe