terkini

Iklan Podcast

Review Buku - Segala Yang Diisap Langit

Lidinews
Minggu, 9/03/2023 07:02:00 AM WIB Last Updated 2023-09-03T00:02:00Z
Gambar : Review Buku - Segala Yang Diisap Langit. Lidinews.id


Bukan tentang Tuanku Imam Bonjol atau perjuangan melawan Belanda kala itu, tapi tragedi yang menimpa keluarga-keluarga bangsawan Minangkabau, yang menjadi korban maupun pelaku perang Padri itu sendiri


Lidinews.id - Pinto Anugrah dalam Novel Segala yang Diisap Langit menyajikan sebuah imajinasi revolusi sosial yang cukup "berdarah-darah". Perang Padri melawan Belanda dan kaum adat di Minangkabau pada 1803-1838 dijadikan oleh Pinto sebagai latar novelnya itu.


Di tengah latar itu, Pinto menyajikan bentuk kecil pertentangan kelompok orang berpakaian putih (kaum Padri) yang ingin memurnikan ajaran Islam dalam masyarakat yang kuat menganut tradisi matrilineal yang mengalami dekadensi moral.


Novel ini menampilkan satu siluet peristiwa yang berujung pilu di sebuah nagari yang diberinya nama "Batang Ka" di tenggara Gunung Marapi, Minangkabau, sebagai sebuah gambaran titik nadir pertentangan dua kubu yang masih bersaudara, tetapi berbeda ideologi.


Novel ini menampilkan sebuah fragmen tragedi berdarah, dengan fokus pada tragedi satu keluarga bangsawan adat yang mengalami kekerasan oleh seorang "bekas" ninik mamak dari kaum sendiri pascabergabung dengan kaum Padri.


Membaca dari sinopsis novel dapat kita temui bahwa inti dari kisah ini merupakan kisah mengenai sebuah adat istiadat atau kepercayaan masyarakat sekitar yang ingin dihentikan atau dipatahkan oleh tokoh utama. Sang tokoh utama bahkan siap menjadi istri kelima demi mendapatkan anak yang nantinya dapat menjadi bukti bahwa kepercayaan tersebut hanya mitos.


Selanjutnya pada paragraf kedua terdapat kata penghalang. penghalang ini merujuk pada saudara laki-laki yang merupakan saudara kesayangan dari Bungo Rabiah yang bernama Magek. Magek Takangkang, sebuah nama plesetan ironis dalam cerita yang cukup serius.


Ia lari dari masa lalu yang kelam. Satu saat tiba-tiba keinsyafan muncul, lalu membawanya bergabung dengan kaum Padri. Namun, hal itu juga mengantar dirinya ke ekstrem lain.


Alasan magek menjadi penghalang dikarenakan magek bergabung dengan kaum padri. Kaum Padri menganut kepercayaan bahwa menghisap candu, berjudi, sabung ayam, berzina dan kawin sedarah itu perbuatan keji yang mana orang-orang di daerah Lembah Datar menganggap hal itu sebagai kesenangan.


Ekstrem kelam masa lalunya itu ialah saat Magek Takangkang terlibat incest dengan adiknya, Bungo Rabiah hingga melahirkan seorang anak laki-laki bernama Karengkang Gadang. Itulah situasi absurd bagi Magek Takangkang saat akhirnya ia tahu: "anak sekaligus kemanakan", sebuah kutukan baginya. Keinsyafannya menimbulkan dendam atas dirinya sendiri. Ia pun menjauh dari kaumnya. Bahkan, dalam penebusan dosa ia pun rela "menghancurkan" kemaluannya sendiri, simbol nafsu jahiliah masa lalunya.


Terjadilah pembantaian yang dilakukan oleh Magek Takangkang yang menghancurkan harta, adat, keluarga, dan masa lalu Bungo Rabiah. Apa yang dilakukan Magek Takangkang terlihat sebagai percobaan penulis novel ini tentang pendapat Lucien Goldmann bahwa di dalam fiksi terdapat dunia yang mungkin.


Pemandangan dalam novel ini merupakan salah satu imajinasi tentang sekelompok anggota Padri yang menumpas kebiasaan dan moral masyarakat kaum adat yang rusak karena maksiat, perjudian, mabuk candu, dan kebejatan lain.


Namun, sejarah pergolakan antara kaum putih dan hitam dalam imajinasi fiksi ini berwarna lebih merah darah daripada sejumlah kisah laporan sejarah. Kisah yang merujuk peristiwa sejarah ideologi dan peperangan yang coba ditampilkan dalam novel ini menilik kejadian imajinatif yang lebih berbau amis.


Secara khusus, novel ini menyajikan perubahan radikal yang dihadapi oleh anggota masyarakat adat yang berputar haluan menjadi anggota Padri.


Seseorang lelaki, Magek Takangkang berlumuran dosa, kemudian menemukan titik tobat menjadi bagian dari kaum agama yang hendak membawa perubahan di kampungnya dengan gaya kekerasan yang banyak dituduhkan kepada gerakaan itu.


Masyarakat hingga kaum keluarga sendiri dengan tragis, termasuk adiknya sendiri pun ia hadapi. Dia mengalahkan kaum adat.


Dilihat dari sisi penulis, Pinto Anugrah merupakan keturunan minangkabau yang menyandang gelar adat Datuk Rajo Pangulu, datuk pucuk, persukuan di Minangkabau. Hal ini membuat kita mengerti bahwa seorang Pintu Anugrah pasti tau betul seluk beluk mengenai adat istiadat daerah Minangkabau. Selain itu dilihat dari karya yang telah ia buat, tak heran bila beliau membuat kisah-kisah yang menggugah mulut untuk membaca, membuat pikiran menerka-nerka dan rasa ingin tahu dari hati pembaca.


Novel ini bukanlah fiksi sejarah. Novel ini hanya diilhami oleh salah satu peristiwa sejarah, yaitu Perang Padri yang dijadikan latar dan berikutnya diisi oleh penulis dengan imajinasinya sendiri.


Pembaca melihat sikap pengarang terhadap peristiwa sejarah yang ditafsirkan dalam novel, yaitu dengan menampilkan dua kutub ideologi, kaum agama (kain putih) dan kaum adat (kain hitam) secara ekstrem. Ia tidak hanya menampilkan kaum putih yang menerabas, tetapi juga dekadensi moral kaum hitam.


Berdasarkan hal yang telah dijelaskan dari awal, novel Segala Yang Diisap Langit merupakan novel yang sangat disarankan untuk dibaca. Novel dengan 144 halaman yang terbilang sedikit itu merangkum berbagai kisah dan sudut pandang.


Terdapat banyak hikmah yang dapat diambil dari kisahnya. Cerita yang disajikan pula tidak berbelit-belit dan mudah dipahami. Selain itu, dari buku ini kita dapat mengenal beberapa bahasa daerah minangkabau.


Selain itu dilihat dari karya yang telah ia buat, tak heran bila beliau membuat kisah-kisah yang menggugah mulut untuk membaca, membuat pikiran menerka-nerka dan rasa ingin tahu dari hati pembaca.



Editor : Arjuna H T M

Review By Susi Sipayung




Review Buku - Segala Yang Diisap Langit

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Review Buku - Segala Yang Diisap Langit

Iklan