terkini

Iklan Film

Ada Apa Dengan Toga?

Lidinews
Minggu, 5/10/2020 11:41:00 PM WIB Last Updated 2023-02-11T03:44:59Z




Penulis :  Dion Rasu


Sulsel, Makassar,Lidinews.com-Daripada sibuk urusi pandemi Covid-19 yang penuh drama ini, saya akan mencoba menulis tentang soal krusial mahasiswa yaitu wisuda. Wisuda merupakan perhelatan akbar dan akhir dari seluruh proses perkuliahan dengan gelar sarjana. Entah apapun jumlah huruf (s) dibelakangnya.

Kemudian peserta dikenakan seragam seperti jubah kaum agamawan samawi dan tak lupa topi hitam dengan ukuran 3 cm serta seutas tali ukuran jari kurang lebih ukuran jari telunjuk bahkan lebih.Topi yang berwarna hitam ukuran kepala koki (juru masak) tersebut namanya "Toga" sebagai simbol kemenangan atas drama intelektual selama bertahun- tahun.

Namun berakhirnya soal toga ini bukan berarti mengahkiri perjuangan tapi menandai proses per-uang-an alias mencari pekerjaan. Banyak yang gagal menuju babak akhir perkuliahan penuh drama ini ,adapula yang jatuh bangun akibat masalah pribadi entah biaya atau nikah muda, hamil muda dan lain-lain.

Sorotan utama kali ini adalah ekonomi dan budaya, jika menurut beberapa orang bangga dengan gelarnya setelah selesai kuliah bagi saya dan beberapa orang hal ini sebaliknya.

Sederhana saya menjelaskan agar bahasanya mudah dipahami, dalam urusan kuliah dari kacamata ekonomi : Sesungguhnya kita telah menikmati jajanan komersialisasi (bisnis) pendidikan. Lalu bagaimana mungkin ini bisa terjadi, bila mengingat tentang sila ke 5  "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" atau wacana pendidikan gratis para politisi dan pemerintah sungguh membuat hati galau tak karuan.


Tapi tidak hanya itu biaya yang dikeluarkan selama study amat banyak meski dihitung berdasarkan kualitas kampus anggarannya bisa dipakai beli kendaraan, buka usaha atau membeli sebidang tanah. Anekdot lucu yang diterima adalah kampus tempat mencetak pasar tenaga kerja sekaligus bisnis yang menguntungkan.Tidak hanya itu ribuan orang menjadi korban gelarnya sendiri, karena menikmati sensasi "banting setir" yakni situasi ekonomi memaksa bekerja tak sesuai jurusan seperti: dari yang jurusan ekonomi menjadi sekuriti/satpam atau jurusan mesin menjadi perangkat desa.

Nilai jual dari upah tak sesuai biaya waktu kuliah atau setidaknya mengikuti  standar UMR  yang disahkan pemerintah. Selain itu pandangan budaya mendukung angka pengangguran, jelas sekali bagaimana tidak soal sarjana adalah soal harga diri keluarga karena sanksi sosial. Dalam artian orang tua akan dianggap mampu bila menyekolahkan anaknya hingga sarjana tanpa peduli dia kerja apa.Belum lagi ditopang oleh kemelut nepotisme yang menjadi lahan subur mencari pekerjaan tanpa peduli basic struktur jurusan yang penting satu darah dan marga.

Hal ini bisa diperhatikan apabila foto toga dipajang didinding rumah dan dijumpai orang yang bertamu akan menuai pujian serta rasa bangga dan hal lain bisa dilihat dipostingan sosial media (ig,w.a,fb) dibawah kolom komentar serentak kita makan puji tanpa tahu arah selanjutnya.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Ada Apa Dengan Toga?

Iklan

Pasang Iklan Di Sini Close x Kode Iklan Di Sini Broo