terkini

Iklan Film

Polemik Panas RUU HIP

Lidinews
Rabu, 6/24/2020 07:11:00 PM WIB Last Updated 2023-02-11T03:43:51Z

JATIM- LidiNews.com |Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila yang disingkat RUU HIP benar-benar menjadi bola panas. Padahal keputusan pemerintah adalah meminta DPR sebagai pengusul mengkaji ulang yang otomatis rancang undang undang tersebut tertunda.

Asumsi ini didasarkan pada ramainya diskursus dialog baru yang berseliweran di media streaming maupun media cetak. Belum lagi pertengkaran di media sosial yang sudah masuk kategori "perang jempol" yang akut. Semuanya terakomodir akibat RUU yang dianggap sebagian kalangan sangat full tendensius.

Konflik dan polemik di atas sesungguhnya bermuara pada tafsir terhadap tiga konsep yang ada di dalam RUU HIP itu sendiri. Ironinya Agenda pentafsiran tersebut diakui secara komunal sebagai sebuah tindakan penggerusan yang berbahaya.

Tiga konsep yang dimaksud adalah:

1. Tidak Dimasukkannya TAP MPR Pelarangan Paham Komunisme

2. Adanya Pasal Ketuhanan Yang Berkebudayaan

3. Dimasukkannnya Istilah Tri Sila dan Eka Sila

Jika benar tiga poin di atas menjadi dasar konflik akibat kemunculannya di Rancangan Undang-Undang, maka dalam poros pandang filsafat bahasa, RUU HIP memang layak menuai kritik. 

Apakah  mungkin dialektika tersebut tidak terbaca oleh para pengusul? 

Tidakkah terpahamkan kalau semua orang bisa mentafsirkan esensi bahasa hanya dari membaca judulnya saja?

Mungkin hipotesis ini masih bisa dibantah dengan nalar logika yang lain. Tetapi paling tidak ada etika moral berbahasa yang mulai dilanggar. 

Ada etics of language yang coba digerus apalagi ini mencakup istilah pasal dalam rancangan undang undang. Sekalipun ada bantahan semacam "Baca isinya dulu dong, masak lihat judulnya saja langsung ngegas"!

Inilah dasar asumsi kalau kisruh RUU HIP disebabkan oleh etika berbahasa yang dilanggar:

1. Tidak Dimasukkannya TAP MPR Pelarangan Paham Komunis

Sudah dijelaskan di tulisan sebelumnya (Perlukah Istilah PKI Muncul Lagi) kalau istilah PKI yang notabene dipararelkan dengan komunis adalah istilah yang tidak perlu muncul lagi baik secara leksikal maupun paradigmatik.

Namun dengan munculnya narasi tidak dimasukkannya TAP MPR Pelarangan Komunisme di RUU HIP secara paradigmatik telah membuka cakrawala berpikir massa tentang komunis itu sendiri. Tentu efek "ricuhnya" sama dengan interpretasi atas munculnya judul buku Aku Bangga Jadi Anak PKI yang bisa dilihat dari sisi leksikalisme maupun paradigmatis sebagai sebentuk pembangkangan jenis baru.

Jika memang demikian wajarkah protes keras yang disampaikan seluruh anak bangsa?

2. Adanya Pasal Ketuhanan yang Berkebudayaan

Dari sisi bahasa, pasal Ketuhanan yang Berkebudayaan juga kurang tepat di-gol kan. Bahkan istilah "Ketuhanan dengan "Yang Berkebudayaan" juga tidak etis dituliskan karena dasar tafsirnya berbeda.

Ketuhanan ditafsirkan secara alamiyah terkait dengan esensi tuhan. Maka lahirlah sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha esa yang ber-sinonim Tuhan yang Maha Esa sebagai sebuah perjanjian rohani pendiri bangsa dengan islam sebagai religi system terbesar.

Sedangkan Ketuhanan yang Berkebudayaan dalam tafsir istilah tentu bertabrakan dengan kesepakatan komunal di atas.

Tentu wajar pula jika ada yang mentafsirkan Ketuhanan yang Berkebudayaan berarti Tuhan yang Berbudaya. Frase yang 1000% "kurang ajar".

3. Adanya Istilah Tri Sila dan Eka Sila

Lepas dari siapa dan kapan istilah Tri Sila dan Eka Sila itu muncul, etika berbahasanya tumpul jika diorasikan di tengah  masyarakat yang sepakat Panca Sila itu final an sich.

Literasi membabi buta yang muncul adalah Pancasila akan diperas dari 5 menjadi 3 lalu menjadi 1.

Padahal ideologi kadung digemakan sejak Agustus 45 kalau Pancasila adalah 5 sila. Sensasinya pun dihidupkan dengan adagium Pancasila ideologi negara, dasar hukum, Pancasila sakti, Pancasila cita cita bangsa dll.

Lantas dengan munculnya istilah tri sila dan eka sila tentu dipandang seakan mengkebiri tafsir-tafsir bahasa di atas.

Tentu lumrah bola panas menjadi tidak berujung hanya karena istilah yang dianggap melukai etika berbahasa yang sudah kadung terserap di dalam otak-otak anak bangsa sebagai kesepakatan yang tidak bisa diganggu gugat. Maka dari itu penundaan bahkan pembatalan adalah solusi yang paling ideal sebelum bola panas meluncur semakin cepat.

Penulis: Agus
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Polemik Panas RUU HIP

Iklan

Pasang Iklan Di Sini Close x Kode Iklan Di Sini Broo